Erlangga Rajendra, nama yang baru saja diketahui Shabira ini adalah nama yang harus diblacklist dalam hidupnya. Baru hari pertama bertemu dengan lelaki itu, bahkan belum ada setengah hari, Shabira harus merasakan kekesalan yang beruntun. Bayangkan saja, setelah kejadian di gerbang dan di kantin, tak sampai situ Elang—panggilan akrabnya—membuat Shabira kesal. Tadi, setelah Shabira memasuki lapangan, Elang berteriak agar perempuan bertubuh kurus itu maju ke tengah lapang. Bukan hanya Shabira, tetapi juga para Maba—Mahasiswa Baru—yang melanggar peraturan.
“Dasar pembohong!” gerutu Shabira begitu Elang berada di dekatnya.
Banyak umpatan yang terucap dalam benak Shabira, sejak saat dirinya dipanggil Elang untuk ke tengah lapang. Bisa-bisanya Shabira terkecoh dengan omongan Elang yang jelas-jelas hanya omong kosong. Bagaimana mungkin lelaki ini mau untuk sekadar membantunya menghindari hukuman? Ah, karena itu memang bullshit. Buktinya, Shabira masih tetap diberi hukuman.
Elang menoleh ke arah Shabira yang masih menjalankan hukuman. Terlihat jelas perempuan itu kesal kepadanya. Lihat saja! Saat melakukan squat jump pun, masih sempat-sempatnya perempuan itu menatap Elang dengan tajam.
“Kamu bicara sama saya?” tanya Elang dengan tatapan datarnya.
Dalam hati Elang tersenyum puas, ketika melihat gadis di hadapannya terkena perangkap. Sudah salah, masih saja merajuk. Sebenarnya Elang sudah mengetahui Shabira berpura-pura tak menjadi Mahasiswa Baru, sejak gadis itu berjalan ke arah kantin. Panitia awalnya akan menegur Shabira, namun ditahan oleh Elang. Karena bagi Elang, Shabira akan menjadi urusannya.
Shabira mencibir. Dia menghentikan squat jumpnya yang sudah berakhir di angka lima puluh. “Nggak usah pura-pura bego!” ketus Shabira sambil berkacak pinggang.
Kali ini kekesalannya benar-benar ingin meledak, terlebih saat melihat wajah datar dari lelaki kampret di hadapannya.
Biarin hari ini gue kalah, karena memang gue salah. Liat aja besok, gue jamin nggak bakal lagi gue berurusan sama dia. Shabira membatin.
***
“Gue balik duluan, ya?”
“Ah, oke. Hati-hati.”
Shabira melangkahkan kakinya menuju si hitam yang menemaninya sudah sejak masa putih abu. Kemudian dia menatap langit yang mulai menggelap. Hari pertama ospek ternyata sungguh melelahkan. Ditambah lagi dengan pegal di kakinya akibat squat jump tadi. Rasanya Shabira butuh kasur sekarang.
Belum sempat Shabira mengambil kunci motor, sebuah tangan merangkul tubuhnya. Refleks Shabira menghentakkan tangan itu dan hampir menonjok orang itu sebelum akhirnya dia menyadari siapa yang merangkulnya tadi.
“Sialan!” Shabira menepak bahu lelaki yang baru saja merangkulnya.
Mendengar umpatan Shabira, lelaki berambut sedikit gondrong ini pun tertawa. Dia senang melihat raut wajah perempuan di hadapannya di kala kesal melanda. Ah, tak hanya raut wajah kesal, raut wajah apapun yang ditampilkan Shabira adalah kesenangan bagi lelaki bernama Rigel itu. Kecuali raut wajah sedih dan kecewa.
“Kok lo bawa motor, sih? Kan gue bilang, bareng gue aja.”
Shabira mendelik sebal mendengar pernyataan itu, “Gue udah bilang berapa kali, gue itu mau mandiri, El.”