Shabira keluar dari kamarnya buru-buru. Diliriknya jam yang berdenting di dinding, refleks Shabira menepuk jidatnya.
“Sial! Gue terlambat,” keluh Shabira. Dalam hatinya dia menyesal, karena kemarin malam tak seharusnya bergadang menonton sepak bola dan berakhir bangun kesiangan di hari pertamanya menjadi mahasiswa baru.
Shabira bergegas mengambil sepatu yang tersusun rapi di rak dan memasukkannya ke dalam tas. Shabira tak mau repot-repot menalikan sepatu di saat genting seperti ini. Jadi, dia memilih untuk memakai sendal dari rumah.
Gadis berkuncir kuda ini segera menghampiri motor matic peninggalan sang ibu yang kini menjadi motor kesayangannya. Langkah Shabira terhenti ketika ada suara bariton menginterupsi.
“Bi, kamu nggak sarapan dulu?” Pria bernama Gara itu segera bangkit dari kegiatan menyiapkan sarapannya dan turut mengikuti anak gadisnya yang tampak terburu-buru.
Shabira menoleh lalu menggeleng, “Aku udah terlambat. Nanti aja di kampus.” Tanpa pikir lama, Shabira bergegas menuju motornya, meninggalkan Gara yang kini mematung di depan pintu.
“Mau Ayah antar?” interupsi Gara sekali lagi.
Shabira yang sedang memasang helmnya, kembali menggeleng. “Nggak perlu. Aku bisa sendiri.” Setelah itu, suara motor matic yang dikendarai Shabira perlahan menjauh dan hilang.
Sepeninggalannya Shabira, pria yang tak tampak menua itu tersenyum miris. Dengan mengizinkannya tinggal bersama gadis itu pun, Gara sangat bersyukur. Mungkin Shabira butuh waktu untuk bisa sekadar makan bersamanya. Gara harus bersabar akan hal itu. Karena dia yakin, tak mudah bagi anaknya untuk menerima.
Bahkan untuk nonton pertandingan bola tim kesayangan mereka berdua, butuh hampir setahun untuk bisa menonton bersama dan hal itu baru saja terjadi tadi malam. Bolehkah Gara bersyukur lagi?
***
Shabira berhasil memarkirkan motornya, setelah perdebatan—lebih tepatnya Shabira yang mengomel—panjang karena berebut untuk masuk lebih dulu di gerbang depan. Dilihatnya jam di tangan, sudah menunjukkan jam tujuh lebih lima menit. Seketika dengusan kesal Shabira terdengar. Padahal tadi Shabira mengendarai motor lebih gila dari biasanya. Bayangkan saja, perjalanan dari rumah ke kampusnya bisa memakan waktu 45 menit dan pagi ini Shabira berhasil menempuhnya hanya dalam waktu kurang lebih 25 menit. Ini gila!
“Kalau bakal gini ceritanya, mending gue sarapan dulu tadi,” kesalnya.
Shabira segera mengambil sepatu di bagasi motor lalu memasangnya. Dia sudah sangat yakin akan mendapatkan hukuman di hari pertamanya Ospek. Sudah telanjur, Shabira melangkahkan kakinya menuju kantin. Mengisi perut memang lebih penting untuknya saat ini.
Beruntung atribut ospeknya masih berada di dalam ransel. Jadi, Shabira tak perlu repot-repot menyembunyikannya. Seakan bukan bagian dari mereka, dengan santainya Shabira melewati lapangan yang penuh dengan para mahasiswa baru yang sudah berbaris rapi.
Shabira tersenyum puas ketika dirinya sudah berhasil melewati area lapang dan kakak-kakak tingkat panitia ospek yang mengawasi di koridor. Rupanya mereka tak menyadari bahwa Shabira adalah mahasiswa baru. Ternyata, mereka mudah sekali untuk dibohongi. Melihat ini, Shabira mematahkan pemikiran-pemikiran buruk tentang ospek yang katanya taring-taring kakak tingkat mulai unjuk gigi. Dan terbukti, tak ada satu pun yang menghukumnya, atau sekadar menghalau jalannya.
Perjalanan Shabira menuju kantin lancar tanpa hambatan. Hanya perutnya yang keroncongan saja yang tak sabar untuk segera diisi, dan hal itu sama sekali tak mengganggu. Terpenting bagi Shabira, sampai kantin dan langsung makan.
Kantin tampak masih sepi, hanya ada segelintir orang di dalamnya. Pantas saja tak begitu ramai, selain karena sebagian mahasiswanya sedang bertugas, ternyata baru tiga kedai yang baru dibuka. Sisanya masih tertutup rapat. Shabira menatap tiga kedai itu bergantian, ada bubur ayam, kupat tahu dan nasi kuning. Tak perlu berpikir lama, gadis itu menuju kedai kupat tahu.
Usai memesan, dia segera mencari tempat duduk. Matanya tertuju pada meja kosong di ujung sana. Sepertinya itu tempat ternyaman. Bagaimana tidak, di ruangan kantin yang semi outdoor ini, hanya ada beberapa bangku yang berada di antara indoor-outdoor. Banyak tanaman di sana dan sudah dipastikan udaranya segar. Melihat meja di ujung sana, membuat Shabira yakin bahwa itu akan menjadi favoritnya nanti.
Belum sempat Shabira melangkah, ada seseorang yang menabrak bahunya hingga dirinya hampir tersungkur. Bukan meminta maaf, orang yang tadi menubruk Shabira hanya menoleh dan berlalu.
“Gila! Itu cowok, kan, yang tadi debat di gerbang sama gue? Sialan!” kata Shabira dengan kesal yang menggebu. Baru saja mau menghampiri lelaki yang kini sudah duduk di kursi incaran Shabira, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Refleks gadis itu berbalik badan.