Tahun 2007
Lapangan sekolah pagi itu sudah dipenuhi siswa dan guru. Upacara belum dimulai tapi sudah banyak siswa yang mengeluh, capek dan lama. Seorang siswa lelaki bernama Dean terlihat panik karena lupa membawa topi sekolah. Matanya menengok ke kanan dan kiri. Semua terlihat lengkap dan tidak ada satu pun yang tidak memakai topi. Siswa lelaki itu mulai panik, keringat mulai bercucuran dari dahinya. Dean tidak ingin di tahun pertama masuk sekolah, dia harus dihukum karena lupa membawa topi. Semua orang akan menganggap dirinya sebagai siswa nakal dan tidak teladan. Dean memutar otak, mencari peluang yang bisa dia lakukan.
“Kak tolong!” Suara siswa perempuan membuat Dean beralih dari pikirannya. Dilihatnya seorang perempuan yang sedang memegangi perut, terlihat kesakitan.
“Kenapa Dek?” tanya seseorang memakai syal bertuliskan PMR.
“Sakit kak, datang bulan...” Jawaban dari siswa perempuan itu membuat Dean mencibir. Dasar manja.
“Yaudah. Kamu ke UKS aja ya?”
Siswa perempuan itu mengangguk lalu membuka topinya dan mendekati Dean yang berdiri tidak jauh. “Nitip ya.” Sebelum pergi siswa perempuan itu berbisik kecil “Pakai aja.” Lalu berbalik dan kembali memegangi perutnya.
Dean membulatkan matanya, tentu saja dia kaget dan juga bingung. Pakai… tidak…?
“Dek.” Panggil seorang siswa perempuan. Dean menengok. “Ayo dipakai, sudah mau mulai upacaranya!” Lanjut seseorang itu. Dean masih ragu. Memakai topi milik orang lain yang tidak dia kenal bukan lah dirinya. Apa lagi tadi dia menyebut orang itu manja.
“Dek? Ayo! Atau saya yang pakaikan?” Gertak perempuan yang Dean yakini adalah kakak kelasnya yang juga anggota OSIS. Dean merasa terpojok. Tangannya mulai membawa topi itu menuju kepalanya. Satu detik… dua detik… dan akhirnya pada detik ketiga kepala Dean sudah dihiasi topi sekolah. Kakak kelasnya sudah pergi. Dean mengehela nafas lega. Satu masalah selesai hari ini.
O N E L A S T H U G
Setelah selesai upacara. Dean mencari sosok pahlawannya hari ini. Dia mencarinya di UKS, tapi ternyata ruangan itu kosong. Dean memutuskan untuk kembali ke kelasnya, tapi baru saja hendak pergi, seorang perempuan menghampirinya,
“Kenapa? Cari aku?” Dean melihat perempuan itu dari atas hingga bawah. “Iya.”
Perempuan itu mengambil topi dari tangan kanan Dean. “Sama-sama.”
Dean mematung, “Em… kamu…” Perempuan itu mengangkat satu alisnya, menunggu kelanjutan kata dari Dean,
“Apa?”
“Tadi… pura-pura?”
Perempuan itu tertawa, “Kelihatan ya? Yah gagal dong ektingku.”
Dean menggelengkan kepalanya, benar saja dugaannya, “Kenapa?” tanya Dean.
Perempuan itu mengerutkan keningnya, “Kenapa apa?”
“Kenapa kamu bantu saya?”
Perempuan itu mengulurkan tangannya, “Aleyana, kamu bisa panggil aku Aleya.” Katanya memperkenalkan diri.
Dean mengangkat satu sudut bibirnya, tidak berniat membalas uluran tangan dari perempuan yang sekarang sedang berada di depannya ini.
Perempuan itu, Aleya, mengambil kembali tangannya. “Kenapa memangnya? Untuk apa punya dua tangan tapi menutup mata ketika orang lain butuh bantuan kita?”
“Tapi tadi itu salah. Kamu enggak takut apa ketahuan?” Kata Dean sedikit berteriak.
Dean mengendalikan emosinya lalu menatap dalam perempuan di depannya ini, bagaimana pun dia sudah membantu Dean tadi, “Apa untungnya buat kamu?”
Aleya tersenyum, “Dapat teman. Kamu contohnya.”
Dean menyentil dahi Aleya.“Jangan harap.”
Aleya yang merasakan sakit langsung spontan memegangi dahinya.
Dean tersenyum jahil, “Jangan-jangan kamu suka sama saya?”