2019
Mobil berwarna hitam itu terus melaju menerjang jalanan Jakarta yang padat di pagi hari. Udara segar langsung menyapa ketika sang pengemudi mobil hitam itu membuka kaca di sampingnya. Dia adalah Dean Mahendra, seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Sepak terjang Dean di rumah sakit tidak bisa dianggap sebelah mata, pasalnya sudah banyak jiwa yang dia tolong memalui kemampuannya di ruang operasi. Banyak pasien yang rela mengantre untuk diperiksa olehnya. Oleh sebab itu belakang ini pekerjaannya sangat banyak dan tidak ada waktu walau sekedar rebahan.
Dalam perjalanan dari rumah menuju rumah sakit, beberapa kali dia memejamkan mata, mencari ketenangan. Sesampainya di tempat tujuan, dia tidak langsung turun, berdiam diri menjadi pilihannya. Setelah menghembuskan nafas panjang, ia memantapkan diri untuk keluar sambil membenarkan kemeja dan dasi yang ia pakai.
“Pagi Dok!” Sapa seorang perempuan berseragam putih.
Dean terus berjalan dan sesekali tersenyum pada orang yang menyapa. Badannya tinggi, dan berotot membuat siapa saja yang melihatnya tahu bahwa ia selalu menjaga badannya dengan berolahraga. Tidak jarang juga lelaki itu menjadi topik hangat pembicaraan banyak orang di rumah sakit.
“Dean udah ada?” tanya seseorang perempuan yang memakai baju khas pegawai kantor.
“Udah Bu, baru saja datang.”
Tanpa permisi, perempuan yang bertanya itu memasuki sebuah ruangan tak jauh dari dirinya berada.
“Dean?” Dean menoleh.
“Andin? masuk.”
Andin tersenyum dan mengatakan kepada Dean bahwa dirinya datang untuk memberikan sarapan yang dia buat sendiri. Dean menerima dengan senyuman, namun Andin tahu senyuman yang Dean perlihatkan bukanlah senyuman bahagia.
“Kamu kelihatan capek banget. Kenapa?”
Dean menggeleng, “Oh ya?” Andin tersenyum lalu mendekati Dean dan mulai memijat-mijat bahu Dean. Dean yang merasa butuh akan pijatan itu pun hanya diam dan menikmati tekanan demi tekanan.
“Nanti dimakan ya, harus habis, kamu harus jaga kesehatan, masa kamu peduli sama kesehatan orang lain, tapi kesehatan kamu enggak diperhatikan.”
Lagi-lagi Dean hanya tersenyum.
“Memang aku kenapa? Aku merasa baik.”
Andin melotot tak terima dengan pernyataan Dean, “Kamu jadi kurusan gini masih bilang baik?”
Dean memperlihatkan lengannya, “Kurus? Lihat nih tangan aku keker gini.”
Andin mencibir, “Iya deh.. tahu yang berotot.”
TOK.. TOK..
Perbincangan mereka terhenti ketika suara ketukan terdengar, “Permisi, Dok?”
“Iya, masuk.”
“Ini data pasien yang Dokter pinta kemarin.”
“Terima kasih Dita.”
Setelah perempuan yang dipanggil Dita itu keluar. Andin membereskan barangnya dan pamit pergi.
“Aku kerja ya. Ga enak kalau telat.”