Pak Haryono terbaring lemah di atas kasur Rumah Sakit. Di mulutnya terpasang selang yang bisa menunjang pernafasannya. Dean yang memakai Gown Reusable sedang serius dengan alat-alat operasi. Mulutnya merapalkan doa-doa. Setelah beberapa jam berlalu, operasi jantung Pak Haryono belum selesai juga. Dean mengalami kesulitan. Disekanya keringat yang bercucuran.
Beeb... Beeb...
Bunyi dari bedside monitor yang memeriksa vitalitas Pak Haryono. Keadaannya melemah. Mata Dean membulat. Keringat terus bercucuran. Dalam keadaan seperti ini dia tidak bisa tenang. Kepanikkan menyerangnya. Baru saja ingin mengambil tindakan lain, Bedside Monitor menunjukkan bahwa Pak Haryono sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Dean mendekati Pak Haryono. dia terlambat. Tangannya bergetar. Dean mendekatkan jarinya ke hidung Pak Haryonno. Tidak ada hembusan nafas. Dean memeriksa denyut Pak Haryono. Tidak ada denyutan. Gagal jantung, sepertinya itu yang dialami Pak Haryono hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
"Pukul 15.20."
Tubuh Dean ambruk. Dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk menyelamatkan Pak Haryono. Dia menangis dalam diam. Nafasnya mulai tercekat. Seakan ada beban berat yang menghimpit dadanya. Semua tenaga medis di dalam ruangan itu menunduk dan berdoa. Mereka sudah berusaha keras.
“Ayah…” Anak Pak Haryono menerobos ke dalam ruangan. dia mendekati Jasad ayahnya, lalu menangis.
Tak lama kemudia anak Pak Haryono menarik tubuh Dean yang mematung.
Dean merasa sulit untuk bernafas. Baru pertama kali dia menyaksikan pasiennya meninggal di hadapannya. Satu tetes air mata turun dari kedua matanya.
“Pembunuh… Pembunuh… Dokter sudah janji...” Anak Pak Haryono menyerang Dean. Dia melimpahkan rasa sedihnya kepada Dean.
Setelah kepergihan Pak Haryono, Dean terus didatangi oleh pihak Rumah Sakit untuk menanyakan keterangan kepadanya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya lemas tak berdaya. Dean mengingat kembali perkataan anaknya Pak Haryono. “Pembunuh” iya perkataan itu benar, dia memang seorang pembunuh. Seharusnya dia bisa menyalamatkan Pak Haryono. Kalau saja dia tidak lengah. Dean menutup matanya. Rasa sesal menyelimuti hatinya.
Sore menjelang malam. Satu persatu tetesan air turun dari langit. Dean yang akan pulang, tanpa sadar menghampiri hujan itu. Dia mengadahkan wajahnya. Hujan akan menghapus air matanya. Hujan akan membuatnya tenang. Dia menangis. Ternyata hujan ini tidak bisa membuatnya tenang. Cobaan yang menimpanya dirasa sangat sulit. Dadanya terasa sesak. Penuh himpitan. Dean merindukan hujannya. Hujan yang selalu membuatnya bahagia.
“Ketika kamu sulit bernafas, pejamkanlah mata dan kamu akan tahu bahwa segelap apa pun hidupmu, kamu akan menemukan cahaya.”
Perkataan itu muncul begitu saja. Perkataan yang selalu Dean dengar ketika dia terpuruk. Perkataan dari perempuan yang selalu membuat Dean lebih baik, tapi sekarang sosok itu tidak ada. Dean memejamkan mata. Dia berharap dapat menemukan ketenangan, tapi ternyata dia salah, tidak ada cahaya di kegelapan itu. Dean membuka matanya. Dia hanya bisa melihat mobil yang berlalu lalang. Lampu-lampu yang menerangkan jalan. Perlahan Dean tertawa. Menertawakan takdir dirinya.
Semua rekan kerja Dean yang melihat kejadian ini merasa resah karena Dean tidak beranjak dari tempatnya. Mereka khawatir dengan keadaan Dean sekarang. Tidak pernah mereka lihat Dean seprustasi ini.
O N E L A S T H U G
Sudah tiga hari Dean mengurung dirinya di rumah. Dean hanya butuh menyendiri dan kabur dari kenyataan. Mendengar kata kabur, dirinya seperti ditampar kenyataan. Dia memang kabur, bersembunyi dari semua orang, pergi untuk menghindari tanggung jawab. Dalam kegelapan yang pekat, Dean hanya bisa memejamkan matanya. Bukan ini yang dia inginkan, dia tentu bukan seseorang seperti ini. Matanya terbuka dan langit-langit kamar lah yang pertama menyapanya. Dia merasa gelisah kembali, satu tetes air mata mengalir cepat dari matanya. Jika hidup sesulit ini, semestinya dia tidak pernah hidup. Dean merasa hampa, hidupnya telah direnggut beberapa tahun yang lalu. Kenyataan pahit yang tidak bisa dia rubah sampai kapan pun.
Dean bangkit, lalu berjalan menuju dapur. Tiba-tiba bayangan Aleya hadir. Dia sedang memasak. wajahnya riang. Bayangan Aleya membalikan tubuhnya. Bayangan itu tersenyum ke arah Dean. Perlahan Dean tersenyum. Dean menghampiri bayangan itu.
"Aku tahu kamu mampu. Kamu pasti bisa Dean!"
Dean tersenyum. Selama Aleya bersamanya, dia yakin dia pasti bisa.
Perlahan bayangan itu menghilang. Dean melihat ke kanan dan kiri. Tidak ada Aleya di mana-mana.
Dean membuka matanya. Mimpi. Dia mengacak rambutnya. Aleya benar. Dia pasti mampu melewati ini. dia harus bangkit. Tidak ada masalah yang selesai kalau tidak dihadapi. Dean bangkit dari tidurnya. Dia harus menyelesaikan masalahnya.