Sepulang dari rumah sakit, Dean dikejutkan dengan kedatangan ibunya dan Andin. Kalau sampai ibunya turun tangan, berarti Dean tidak bisa menolak. Jadi ketika ibunya berkata malam ini ingin makan bersama, maka Dean tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Lagi pula sekuat apa pun Dean menolak, ibunya pasti memaksa. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya bukan.
“Yan, mamah udah lama deh enggak ke luar kota.” Kata Rita, Ibu Dean.
“Nanti ya mah, Dean banyak kerjaan.”
Wajah Rita berubah murung, “Jangan pekerjaan saja dong yang dipikirkan. Kamu juga harus memikirkan pasangan kamu sama mamah. Mamah kan mau juga main bareng sama calon mantu.”
Hening. Dean tampak memikirkan jawaban yang tepat untuk ibunya itu. “Iya nanti aku pikirkan ya Mah.”
Rita mendorong piring di depannya. “Jangan nanti dong, pikirkan sekarang. Kamu sudah besar, Dean.”
Dean menghembuskan nafas panjang. “Iya Mah iya.”
“Awas ya, mamah enggak mau dengar lagi kamu tuh ngomong banyak kerjaan. Sibuk banget.”
Dean hanya diam dan merenung. Sepertinya Rita sudah tahu hubungan Dean dan Andin tidak ada kemajuan. Dean melirik Andin. Andin adalah perempuan baik yang hampir tidak punya kekurangan, dia pun sering kali mengalah untuk Dean, tapi masalah ada pada Dean, seberapa keras Dean berusaha menyukai Andin, rasa suka itu tidak pernah lebih dari teman. Dean menatap Andin, rasa bersalah muncul. Merasa diperhatikan, Andin mendongakkan wajahnya. Andin sedikit terkejut ketika mengetahui Dean sedang memerhatikannya. Andin kembali menunduk, dalam pikirannya Andin takut kalau Dean marah kepadanya. Andin takut kalau Dean berpikir dirinya melapor pada Rita dan salah paham pada dirinya. Andin hanya bisa menundukkan wajahnya.
Setelah mengantarkan mamahnya pulang, Dean kembali menjalankan mobilnya untuk mengantar Andin. Selama di jalan, kedua insan itu sama-sama mengunci rapat mulut mereka. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Andin.
“Makasih.” Kata Andin yang sibuk membuka seat belt.
Dean mengangguk. Dia merasa heran ketika Andin tidak kunjung keluar. Tahu sepertinya Andin mempunyai sesuatu untuk disampaikan, Dean hanya diam dan menunggu.
“Em.. aku boleh ngomong?”
Dean tersenyum, lalu mengangguk. “Aku... bukan aku yang ngomong sama mamah. Mamah cuma tanya tadi, aku pulang jam berapa, dan akhirnya mamah datang ke kantor aku, tanpa aku tahu kalau mamah mau ajak ke rumah sakit kamu.” Kata Andin ragu, laku diakhiri kata “Maaf.”
Dean tersenyum, “Aku tahu, mamah kan memang begitu.”