One Little Thing Called Hope

Gagas Media
Chapter #2

Dunia Baru Yang Berbeda

"Anak-Anak, sarapan!!!” Aeryn memutar mata dengan jengah, ia sudah siap berpakaian sejak lima belas menit yang lalu. Namun, ia sengaja berdiri berlama-lama di hadapan cermin tinggi yang terpasang di pintu lemari kamar tidurnya. Semua atribut seragam sekolahnya telah terpasang rapi, begitu pula ransel berisi buku-buku yang sudah disiapkannya sejak semalam.

Barulah ketika suara Papa menggelegar untuk kali ketiga, Aeryn menghela napas panjang seraya beranjak menuju ruang makan.

Belakangan ini, rutinitas pagi menjelma mimpi buruk bagi Aeryn. Pagi hari berarti berkumpul bersama “mereka”, duduk mengelilingi meja makan dengan aneka menu sarapan pagi yang tersaji. Papa, Tante Hera, dan Florence. Mereka dengan tanda kutip; begitu Aeryn menganggap ibu dan saudari tirinya, karena baginya kedua orang itu tetaplah orang asing yang hanya menumpang hidup di rumahnya. Ia tak berniat menghabiskan waktu dan tenaga bersama mereka, apalagi memperlakukan keduanya seperti anggota keluarga. Namun, peraturan Papa mewajibkannya untuk hadir di meja makan setiap pagi dan malam.

“Selamat pagi, Aeryn,” sapa Tante Hera. Seperti biasa, beliau sudah rapi pada pagi hari; mengenakan terusan bermotif kembang-kembang warna merah muda, apron berwarna senada, tak lupa dilengkapi riasan ringan memulas wajahnya.

Rambut panjangnya diikat di belakang kepala, membentuk kuciran tanpa sehelai rambut pun yang keluar dari tempatnya.

Sempurna. Aeryn lebih suka menyebutnya artifisial.

“Pagi,” jawabnya singkat, mengambil tempat duduk di samping Papa, lalu mulai mengisi mangkuk dengan sereal.

Pop tarts, susu, potongan pisang. Begitu jenis sarapan yang disukainya, juga yang selalu disiapkan oleh Mama setiap pagi untuknya.

Mama. Aeryn kangen Mama. Sangat, sangat kangen. Ia akan memberikan apa pun agar dapat kembali ke masa itu; ketika Papa, Mama, dan dirinya bersama-sama pada pagi yang normal seperti sekarang, melakukan hal-hal yang dulu dianggapnya remeh.

“Aku bikin apple pie.” Suara manis milik Flo membuyarkan angannya. “Dicoba, deh.” “Enak, lho, Ryn,” Papa ikut nimbrung, “lagi pula, nggak sehat kamu makan begituan terus setiap hari.” Papa tahu ini adalah aksi protes Aeryn terhadap kehadiran “mereka”. Sebisa mungkin menghindari acara keluarga dengan berbagai alasan, menolak memakan makanan hangat yang tersaji di atas meja hanya karena makanan itu buatan Tante Hera atau Flo, berlama-lama setiap kali harus berkumpul pada jam makan. Papa tahu, tetapi ia berusaha untuk tak menunjukkannya. Papa juga tak pernah berbuat apa-apa untuk mengubahnya, atau bahkan untuk sekadar membicarakannya.

Keluarga mereka sudah berubah sedemikian jauh, ke titik saat segalanya tidak akan kembali seperti semula.

“Makan pagi adalah sumber energimu untuk aktivitas seharian.” Tante Hera berkata lembut seraya menyendokkan nasi goreng dan lauk-pauknya ke piring Aeryn. “Ini. Dimakan, ya.” Perempuan itu tersenyum.

Aeryn membalasnya dengan senyum yang tak di- maknainya, lalu mulai menyuap makanan dengan terburu- buru tanpa berniat merasakannya. Ia hanya ingin pagi ini cepat berakhir.

“Selesai.” Aeryn bangkit sambil meneguk air putih. “Aku berangkat dulu, ya. Hari ini ada piket.” Dikecupnya pipi Papa, kemudian ia berlalu tanpa meng- ucapkan apa-apa lagi. Tak peduli bahwa Flo—yang sekelas dengannya—tahu bahwa giliran piketnya masih lusa. Tak peduli ia tak berpamitan kepada Tante Hera. Aeryn sudah capek berpura-pura menjadi anak baik.

Hari ini, ia ingin berbuat sesukanya tanpa merasa bersalah kepada Papa.

Dulu, mereka bertiga adalah keluarga kecil yang bahagia. Papa, Mama, dan Aeryn.

Papa memang sibuk bekerja dan sering kali pulang larut malam, itu pun dengan membawa setumpuk berkas pekerjaan untuk diselesaikan di rumah. Pekerjaannya sebagai auditor senior di sebuah perusahaan audit ternama memang tak mudah. Mama juga sama sibuknya; beliau adalah desainer lepas untuk sebuah perusahaan mainan anak-anak. Waktu luangnya diisi dengan berbagai acara penggalangan dana, kunjungan ke panti asuhan serta tempat penampungan korban bencana. Sementara, Aeryn disibukkan dengan kegiatan sekolah dan ekstrakurikuler. Sejak SMP, ia aktif dalam klub basket dan OSIS. Ketiganya memiliki aktivitas masing-masing dan tak selalu bertemu.

Lihat selengkapnya