One Little Thing Called Hope

Gagas Media
Chapter #3

Kotak Susu yang Tak Habis Diminum

Flo meletakkan nampan berisi makan siangnya di atas pangkuan, menyobek pelapis kuenya, menusukkan sedotan ke kotak susu stroberi, lalu mengucapkan seutas doa sebelum makan.

“Selamat makan!” ucapnya, lebih kepada diri sendiri karena sebenarnya tak ada orang lain di tempat itu.

Murid-murid populer seperti Aeryn dan kawan-kawannya menempati meja paling tengah di kafetaria, sedangkan para atlet sepak bola berkumpul bersama para pemandu sorak.

Manusia-manusia tak terlihat seperti dirinya harus puas dengan pojokan-pojokan tak terjamah seperti tangga di balik laboratorium, perpustakaan, atau di sini—sudut auditorium yang selalu sepi pada siang hari.

Ia mulai menggigit, tersenyum puas ketika merasakan lembutnya krim di lidah dan rasa manis yang lumer belakangan. Makanan penutup sebagai makanan pembuka—itu moto hidup Flo. Dirinya hidup untuk desserts—kue, puding, pai, apapun jenis sajian penutup yang pernah ada. Sudah beberapa waktu ini, ia menginginkan sepotong kue krim dengan topping buah segar yang disajikan di kafetaria. Dan, benar saja— rasanya persis seperti tampilannya; lezat, menggiurkan, sempurna.

Ponselnya bergetar di saku, Flo menoleh ke kiri dan kanan sebelum mengeluarkannya. Di sekolah ini, murid-murid diharuskan menyimpan ponsel dalam loker sampai pelajaran berakhir. Namun, Flo selalu menyembunyikannya di dalam saku. Setiap kali merasa sendirian di sekolah barunya, ia sering kali membuka folder foto dalam ponselnya, lalu memandangi wajah-wajah familier milik sahabat-sahabatnya.

Nama Theo berkedip di layar. Flo merasa bersalah saat kecewa merayapi hatinya, tetapi suaranya riang ketika mengangkat telepon.

“Hai, Yo!” “Lagi makan kue krim yang udah lo idam-idamkan itu, ya?” Seperti biasa, sahabatnya akurat dalam menebak dan tak basa-basi dalam melakukannya.

“Ih, kok kamu tahu, sih?” Theo tak menjawab, tetapi Flo tahu sahabatnya itu sedang tersenyum di ujung telepon.

“Genta…,” nama itu terhenti di lidah Flo, “… lagi ngapain?” “Biasa. Belajar.” Flo menyandarkan punggung pada dinding. “Kamu sendiri?”

“Gue nggak perlu belajar.” Flo tertawa. Ia tahu Theo bukannya sedang me nyom- bongkan diri. Untuk seseorang yang IQ-nya mencapai 200, cowok itu memang tak perlu belajar. Bahkan, seharusnya dia sudah mempelajari kurikulum universitas, bukannya pelajaran sekolah menengah biasa. Hanya saja, Theo tidak suka menonjolkan diri. Dia lebih suka diperlakukan seperti murid lainnya, tanpa embel-embel genius apalagi istimewa.

“Hari ini kita jadi ketemuan?” “Nggak bisa. Ada kelas tambahan, mau ngejar materi.” Lagi-lagi, ada rasa kecewa menghuni hati Flo. Genta dan Theo—kedua sahabatnya di SMA Harapan, sekolahnya yang dulu—adalah murid kelas akselerasi yang notabene merupakan sekumpulan pelajar terpintar di sekolah. Genta menyabet peringkat lima besar di angkatannya setiap tahun, sedangkan Theo terlahir sebagai seorang genius.

Di pertengahan kelas satu SMA, keduanya ditawari untuk bergabung dalam program akselerasi perdana di sekolah mereka, yang menjanjikan kelulusan sekolah menengah dalam kurun waktu satu setengah tahun. Sejak hari itu, keduanya sibuk dengan kegiatan akademis, meninggalkan Flo yang harus puas menduduki peringkat bawah di kelas lama mereka.

Flo rindu Genta dan Theo. Dulu, mereka sering meng- habiskan makan siang bersama di bawah naungan pohon rindang di tepi lapangan, mengobrol tentang apa saja. Dua lelaki itu memang lebih sering asyik sendiri; bertukar pen dapat mengenai teori Fisika, membahas cara menyederhanakanrumus Algoritme, atau hal-hal lain yang membosankan bagi Flo. Namun, ia selalu bisa menikmati waktu bersama mereka.

Genta dan Theo adalah dua orang yang tak pernah menganggapnya tak kasatmata.

Flo bahagia bisa bersepeda bareng pergi dan pulang sekolah. Ia senang melihat mereka berebut untuk meng- ajarinya Matematika atau mengerjakan tugas bersama. Kalau nilai ujiannya jeblok lagi dan Flo terpaksa harus tinggal lebih lama untuk mengikuti kelas tambahan, Genta dan Theo-lah yang menunggui sekaligus menyemangatinya dari depan jendela kelas. Ketika masih sekelas dulu, setiap kali ia dihukum karena belum menyelesaikan pekerjaan rumah atau gagal menjawab pertanyaan guru di kelas, kedua pemuda itu yang membisikkan jawaban dari belakang. Kebersamaan tersebut membuatnya bersemangat berangkat ke sekolah setiap hari, terlepas dari opini Flo bahwa sekolah bukanlah sesuatu yang tepat untuknya.

Banyak orang tak habis pikir mengapa cowok-cowok pintar seperti mereka mau bergaul dengannya, tetapi Flo tak perlu tahu alasannya. Ia hanya bersyukur memiliki keduanya.

Terutama Genta. Ya, Genta-nya.

Flo memang sudah mengenal kedua sahabatnya sejak mereka masuk sekolah menengah pertama yang sama, sudah mengetahui apa yang akan dikatakan mereka, bahkan sebelum kalimat itu selesai diucapkan. Namun, perasaannya untuk Genta adalah hal yang baru. Entah sejak kapan, setiap pertemuannya dengan cowok berkacamata itu membawa makna yang lebih. Entah sejak kapan persisnya setiap kali tatapan mereka berserobok, Flo merasa jantungnya akan copot.

Lihat selengkapnya