One of Us

Tira
Chapter #2

Satu

Melihat kerumunan di dalam kelas, mereka kompak memutar bola mata dan mendesis, lalu menjatuhkan kepala di atas meja. Tampang mereka sama-sama lesu dan malas. Malas dengan jadwal kosong siang ini.

Bukannya senang karena kelas kosong, mereka malah murung. Akibatnya merenung di kelas tanpa minat melakukan kehebohan seperti teman sekelas lainnya. Mereka kompak; bagaikan si anak kembar yang saling berbagi perasaan.

Alasan mereka murung karena jam kosong. Oh, mereka bukan murid pandai yang berharap kelas ada ketimbang kosong. Mereka sepasang murid biasa-biasa saja yang juga gemar membuat kehebohan di kelas apabila jam kosong. Namun, kali ini berbeda. Mereka malas dan bersedih, sejak berita kelas kosong diumumkan oleh ketua kelas.

Mata pelajaran olahraga adalah kesukaan mereka. Tak pernah sekalipun mereka melewatkan mata pelajaran tersebut. Selalu absen pertama dan semangat menjajakkan kaki di lapangan. Membantu Pak Al mengangkat bola dari: bola basket, bola voli, bola sepakbola, sampai bola badminton. Mereka bagaikan asisten Pak Al tanpa pamrih. Kalau orang-orang menyebutnya, “anaknya Pak Al” saking seringnya excited membantu sang guru.

Beruntung kegalauan mereka diatasi oleh bel sekolah pertanda pulang. Amel, si gadis berambut pendek, yang pertama kali berdiri dari bangku. Sambil mengepaki buku sekolah ke dalam tas, kemudian melihat teman sebangkunya yang masih berekspresi nelangsa.

“Nggak pulang, Na?”

Inna, si gadis rambut panjang, mengangguk dengan malas. Namun, tetap berdiri dan mengepaki buku-bukunya dengan serampangan.

“Minggu depan ketemu Pak Al kok,” pikir Amel sambil menarik temannya itu keluar kelas. “Mungkin Pak Al sibuk.” Jarang sekali Pak Al melewatkam jam pelajaran. Guru itu selalu tepat waktu dan tak pernah mengosongkan mata pelajarannya. Lalu, baru-baru ini beliau mengosongkan kelas.

“Buruan, ayo, aku lapar!” Amel menarik lengan Inna mengajaknya cepat-cepat keluar kelas.

Ini hari Jumat. Jadi, wajar kalau anak sekolah pulang cepat. Mereka sudah kelas 11, wajar pula kalau mereka tidak mengikuti kegiatan pramuka. Kegiatan itu hanya untuk kelas 10 dan kelas 11 yang berminat menjadi regu pramuka. Nah, baik Inna maupun Amel, mereka berdua tak minat dengan segala kegiatan pramuka. 

Jangan mengharapkan apa pun dari mereka. Rasa cinta mereka ke pramuka sangatlah minim ketimbang rasa cintanya terhadap olahraga. Bukan berarti mereka bukan pecinta alam, oh, bukan seperti itu. Mereka mencintai alam layaknya regu pramuka, tapi rasa cinta mereka berada di jalur berbeda.

Setelah memaksa Inna pulang. Mereka kini mengantri di salah satu penjual siomay pinggiran depan gerbang sekolah. Inna yang tadinya lesu; lemah; letih, langsung semangat melihat jajanan kesukaannya. Dia dengan tak sabar berceletuk, “Bang! Bungkus satu lima ribuan, yak!” Lalu dibalas penjual siomay dengan anggukan.

Inna meringis riang. Siomay adalah jajanan kesukaan dia. Jika dipaksa memilih antara: siomay, cilok, dan batagor, pasti pilihan Inna jatuh pada siomay. Kendatipun rupa ketiga makanan itu nyaris saling menyerupai. Namun, rasa suka Inna terhadap siomay tidak ada tandingannya.

Sangat berbeda dengan Amel yang tidak begitu suka siomay. Tidak suka bukan berarti benci. Biarpun bilang “tak begitu suka siomay” Amel tetap mengantri dan beli. Kalau bukan karena Inna, mungkin Amel sudah membeli jajanan lain. 

Mereka sudah berteman sejak sekolah dasar. Inna yang dulu dikenal bandel dan kerap membuat teman sekelas menangis berkat kejahilannya merebut tempat pensil, langsung dimusuhi oleh anak-anak cewek—nyaris mereka semua memusuhi Inna. Saat itu mereka masih kelas lima SD. Inna waktu itu masih cuek, tidak begitu peduli soal teman cewek sekelasnya yang bersikap tak acuh padanya. Namun, saat menginjak kelas enam, Inna merasa kesepian. Beruntungnya di kelas ada Amel, satu-satunya anak yang tidak terpengaruhi untuk menjauhi Inna.

Amel sendiri memiliki sifat kebalikan dari Inna. Remaja itu lebih tenang dan diam. Pembawaannya yang tenang kerap membuat orang gampang suka padanya. Selain pribadinya yang kalem bak putri solo, Amel juga cantik. Kulitnya seputih orang Tiongkok padahal bukan. Mata Amel sipit, wajah mulus anti jerawat, dan rambut pendek tertata rapi. Dibandingkan Inna berkulit sawo matang, wajah lemah dengan jerawat, bahkan hidung Inna sekarang tumbuh satu jerawat menyebalkan, lalu matanya bulat besar. Orang tak gampang suka Inna, malah cenderung sebal sama sikap cerobohnya.

Saat tahu kalau Amel tidak menjauhinya, Inna mulai mendekati Amel hingga sekarang mereka nyaris tak bisa dipisahkan. Bagaikan si kembar tak identik. Bertahun-tahun mereka satu sekolah dan sekelas. Sebuah keberuntungan yang kerap mereka dapatkan. Asal kalian tahu, mereka bisa bersahabat juga karena punya kesukaan sama.

Inna dan Amel suka olahraga.

Lihat selengkapnya