“A, D, E ... B.” Amel melafalkan tiap jawaban tanpa suara, sambil melirik guru di depan, kemudian mengamati mulut Inna yang bergerak tanpa suara melafalkan sebuah nomer.
Meyakini sang guru tidak memergoki mereka. Amel melihat lembar jawaban, lalu menengok belakang dan melafalkan jawaban berdasarkan nomer yang ditanyakan Inna. “C, D, B, A.”
“Lima menit lagi.” Suara sang guru menginstrupsi keseriusan murid mengerjakan soal. Mata Bu Ratna mengawasi dari balik kacamatanya, mengamati satu per satu murid dengan tatapan menuduh dan mengancam akan mendiskualisasi mereka jika ketahuan mencontek.
Beruntung mereka cepat tanggap. Kembali ke posisi pura-pura mengerjakan soal; kepala menunduk menatap jenaka lembar jawaban, diam-diam menggulum senyum lega karena Bu Ratna tidak melihat kecurangan mereka.
Sementara Inna masih sibuk menyalin semua jawaban contekan dari Amel. Hari ini ulangan mata pelajaran matematika. Jenis pelajaran yang selalu membuat kepala Inna berkunang-kunang. Sekali melihat deretan angka yang tercetak di lembar pertanyaan saja, Inna langsung merasa mual. Bukan mual sungguhan berupa mengeluarkan cairan menjijikan dari perut, tetapi mual sebagai reaksi bahwa dia alergi terhadap angka.
Alergi yang kerap dirasakan oleh kaum bodoh seperti Inna. Bodoh terhadap mata pelajaran matematika saja. Beruntung Amel dapat diandalkan untuk urusan matematika. Walau dia tak sepintar Eko dan Yeti, seenggaknya nilai Amel tak pernah di bawah angka tujuh. Daripada Inna selalu sial mendapatkan angka lima—itu kalau dia beruntung. Kalau buntung pasti dapat nilai dua.
Iya, Inna sealergi itu sama matematika.
Setelah perjuangan satu jam berkutat dengan angka, mereka akhirnya bernapas lega; sambil duduk di bangku kantin dengan dua gelas es teh menemani.
“Kepalaku mau meledak seketika,” keluh Inna mendinginkan kepala dengan permukaan gelas es teh yang dingin.
Amel terkekeh, lalu meliriknya. “Nggak begitu susah kok, Na.”
“Menurutmu, iya. Aku? Tau dah, pusing.”
Cewek berambut pendek itu tersenyum lagi. Inna selalu begini, mengeluh, setiap selesai mengerjapkan soal matematika.
Alih-alih mengerjakan sendiri, hampir semua jawabannya hasil mencontek. Hari ini dia beruntung karena berhasil mencontek, tanpa perlu ketahuan mata elang Bu Ratna. Beda lagi saat-saat dia buntung, pasti langsung memakai jurus “cap-cip-cup kembang kuncup” atau parahnya, memilih jawaban berdasarkan hitungan kancing seragam.
Agaknya Inna sepasrah itu dengan matematika.
“Ngomong-ngomong,” Inna meletakkan gelas di atas meja. Lantas memandang Amel dengan kening mengerut. “Ntar kerumahku, Mel.”
“Yah, mau ketemu Chandra.”