“Mel! Amel! Amel!”
Inna menangis ketakutan. Amel sejak dua puluh menit lalu belum juga bangun. Padahal sudah dipanggil disertai menguncang pundaknya kuat-kuat. Tetap saja dia tidak terbangun.
Mereka ada di mana? Pikir Inna kalut melihat sekitar dengan takut. Ia menangis, sejak tadi, terlampui takut dan khawatir. Bagaimana tidak? Tempat mereka berada sekarang sungguh asing. Inna belum pernah kemari, dan bersumpah kalau Amel pun pasti belum pernah kemari.
Sekeliling mereka hanya pohon, pohon, pohon ... dan semua pohon.. Membosankan! Pun menyeramkan.
Di sekitar yang ia temui hanya pohon-pohon dengan daun lebat. Tak ada kehidupan selain mereka berdua; manusia, sisanya kehidupan pohon dan burung-burung menyeramkan yang terbang menghantui. Di atas langit, burung-burung itu berkicau. Satu, dua, hingga empat burung terbang, menari-nari di atas sana. Inna melihat kemunculan mereka, tubuhnya seketika meremang dan napasnya tercekat oleh api ketakutan.
Inna mengigit bibir bawah sambil menatap Amel penuh harap. Temannya belum mati, dia masih hidup. Amel hanya pingsan, dia pasti sadar nanti. Ia semakin takut ketika merasakan detak jantung Amel terasa samar-samar.
Ya Tuhan, Inna tak sanggup mengalami situasi asing seperti sekarang. Apa yang perlu dia lakukan? Sejak pertama kali terbangun, ia sempat diam beberapa menit, lalu menatap sekeliling dengan linglung seperti orang bodoh. Sama bodohnya saat dia melihat lembar pertanyaan matematika. Bahkan sempat berteriak minta bantuan, dan yang ia dapatkan hanya sahutan teriakan dari suaranya sendiri.
Mereka berdua saja di hutan ini. Hutan kosong tak berpenghuni manusia. Hanya mereka dan alam liar.
“Amel ... buruan bangun,” mohonnya, memegangi erat-erat pundak teman karibnya.