Luka tetap akan menjadi luka. Sekalipun aku tidak pernah menampakannya. Hal sekecil apapun dalam hidup bisa menjadi luka yang sulit disembuhkan, terlebih jika itu berulang-ulang. Masa kecil yang putih menjadi kertas dari memori. Seiring waktu semakin banyak yang tertulis. Tapi tak sedikit yang meningalkan bekas robekan atau lipatan. Kita semua membawa luka dari masa kecil yang berlanjut hingga dewasa. Dan tidak memiliki waktu untuk menyembuhkannya.
Tak ada yang menyadari jika seseorang yang terdekatlah yang sering memberi luka. Berpikir bahwa hidup bersama akan membuat segalanya menjadi biasa. Namun kenyataannya kita tetap orang asing satu sama lain. Rahasia paling dalam tetap tersembunyi sebagai rahasia. Semakin kita menyayangi seseorang, semakin kita takut dia akan mengetahui rahasia itu. lalu kita akan melukai sama seperti dia melukai kita.
Aku tetap merasa asing di dalam keluargaku, sendiri kadang lebih baik, canggung untuk merepotkan dan membisu untuk menghargai satu sama lain. Karena aku sudah terbiasa dengan moto untuk membahagiakan keluarga, seumur hidupku pun aku lakukan untuk itu. Maka luka dan kesedihanku tidak pernah akan mereka ketahui.
“Kenapa nangis sih, Bu?” akhir pekan seharusnya aku bisa beristirahat di rumah dengan tenang. Melupakan sejenak apa yang terjadi di tempat kerja. Tetapi selalu ada rencana yang tidak sesuai rencana. Ada saja masalah yang kutemukan.
“Sumpek, Jeng. Ngatur uang buat kebutuhan tapi selalu gak cukup. Kapan bisa hidup kayak orang lain yang hidupnya enak?”
“Disyukuri aja, Bu!”
“Yah… bukannya gak bersyukur. Sekali-kali ibu kan juga pengen hidup kayak tetangga depan! Gak ada yang punya riwayat penyakit, sehat-sehat semua, uang banyak, kemana-mana bisa, kalau belanja juga gak perlu mutar otak buat ngatur, pokoknya enak banget hidupnya. Tapi kita dari dulu begini-begini aja, meskipun sudah berkerja keras banget.”
“Ya… belum aja, Bu. Hidup kan seperti roda, kadang di bawah kadang bisa di atas.”
“Tapi ibu kayaknya di bawah terus, Jeng.”
“Emangnya butuh berapa lagi, Bu? Nanti Ajeng bisa ambil tabungan.”
“Uang buku adekmu itu aja, katanya udah batas akhir nyicil. Lha… wong sekolah gratis tapi tetep aja ada iuran ini lah, itu lah, buku juga ratusan ribu.”
“Iya… Nanti Ajeng ambil uang di tabungan,”