Jika aku merasa keadaan akan memburuk maka itu akan memburuk. Jika aku merasa itu tidak akan berjalan lancar maka itu tidak akan berjalan lancar. Jika aku merasa akan berakhir sampai disini maka itu akan berakhir sampai disini. Antara firasat dan sifat pesimis. Meskipun semua firasat tidak berarti akan terjadi. Tetapi hidupku selalu berada dalam kecemasan. Seolah aku mengetahui semua tetapi di sisi lain aku tidak mengetahui semua. Aku sendiri lelah dengan diriku sendiri. Juga lelah terus berbicara hanya dengan diriku sendiri. Tidak ada yang kuinginkan selain melarikan diri menuju kedamaian.
Hari-hari terasa suram. Perjalanan yang kulewati setiap pagi seperti hafalan. Warna yang cerah semakin pudar dari hari ke hari. Ketidakpedulian orang-orang mendarah daging. Belahan bumi lain berteriak, belahan bumi di tempatku ini pura-pura tidak melihat dan mendengar. Semua orang memiliki masalah, tidak ada satu pun yang memiliki waktu untuk membantu yang lain. Aku tetap melangkah menuju rumah kaca yang meskipun aku tahu itu perangkap. Lalu ada seseorang disana yang merangkap sebagai malakikat sekaligus sebagai iblis, menekanku agar mengikuti kebaikan sekaligus keburukan. Aku ingin melarikan diri.
“Ajeng… ke ruangan saya ya!” Tidak biasanya pak bos datang ke kantor lebih awal apalagi tidak ada agenda general meeting.
“Iya… pak”
Ada beban, tentu saja. Kenapa harus aku?
“Langsung saja ya! Ini masalah kinerja kamu, kenapa saya lihat kamu gak ada perubahan? Bahkan justru Karen yang semakin giat mengambil kesempatan?”
Padahal aku tidak pernah bilang aku setuju dengan rencana itu. Kenapa tidak bertanya padaku terlebih dahulu?
“Saya sangat mengharapkan kinerja kamu loh, Jeng! Karena saya sudah mengatakan tentang team baru pada pemilik.”
“Sepertinya saya gak bisa, Pak.”
“Lho… jangan begitulah, Jeng! Jangan menyerah seperti itu. Kamu tahu kan kalau saya berharap banyak dari kamu? Saya lihat Azriel bisa meningkatkan kinerjanya, tapi kenapa kamu tidak bisa?”
Aku menahan nafasku sejenak. Sementara kedua tanganku berpegang pada ujung kursi yang kududuki. Aku benci situasi ini. Menjadi harapan sekaligus kekecewaan. Aku hanya ingin menjadi orang biasa seperti yang lainnya.
“Sebenarnya gampang kok. Kamu hanya perlu melihat dan mempelajari apapun yang dilakukan Karen. Kamu lihat bagaimana dia menyelesaikan masalah-masalah dengan supplier. Kalau ada kesempatan yang sekiranya bisa kamu gunakan untuk menujukan kemampuan kamu maka kamu harus ambil itu. Kalau perlu kamu rebut itu dari Lesti. Jangan biarkan orang lain lebih unggul dari pada kamu.”
Aku tidak mengerti. Aku yang hidup dengan dasar kedamaian dan persahabatan tidak mengerti sedikitpun dengan cara hidup dalam perkerjaan. Seolah pengkhianatan satu sama lain itu adalah hal yang biasa dan harus dilakukan. Atau hanya aku saja yang terlalu berlebihan menafsirkan perkataan atasanku.
“Kamu boleh saja berteman dengan mereka, boleh akrab satu sama lain. Tapi kamu juga harus tahu jika kamu dan mereka saling bersaing satu sama lain. Kamu harus memiliki ambisi untuk mengalahkan mereka dan mempertahankan posisimu.”
Sekalipun kata-kata itu benar. Tapi rasanya terlalu sulit untuk orang sepertiku menjalani hidup demikian. Aku memiliki ambisi tetapi tidak sampai pada titik dimana menendang orang lain dari posisinya agar aku bisa menduduki posisi itu adalah keharusan. Hidup memang seharusnya seperti itu, mempertahankan diri, seleksi alam. Tapi kenapa justru aku yang ingin memberontak dari semua hukum itu. Kecuali aku, aku hanya ingin kedamaian.
“Dari mana, Jeng? Pak bos udah dateng emangnya?” tanya Mas Bimo yang baru datang.
“Pasti pembicaraan rahasia,” cibir Lesti.
“Bilang aja lo juga kepo, Mbak Les!” balas Azriel.
Tapi kulihat Mbak Karen lagi-lagi hanya diam. Dia kembali dingin jika menyangkut topik sensitif ini. “Enggak… Cuma negur kinerjaku aja yang lambat.”
Mengapa melihat orang lain bersedih atau kecewa juga menjadi siksaan terberat untukku? Padahal orang itu tidak lebih penting dari keluargaku. Mengapa aku harus peduli pada mereka di atas kepentinganku? Padahal itu akan membunuhku suatu saat. Dan aku semakin tidak mengerti pada diriku sendiri saat semua itu tidak hanya terjadi sekali. Selalu ada pengulangan, selalu ada yang tidak ingin berhenti membuatku tersiksa.