One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #14

Terhempas di dasar jurang

“Dalam keadaan hancur, kau masih harus menguatkan dirimu sendiri, menguatkan orang lain yang kau miliki. Dalam keadaan hancur hatimu tidak lagi penting.”

Aku menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah gontai. Melihat kesekelilingku tidak ada lagi orang yang sanggup menguatkan satu sama lain. Bukan hanya untuk mereka yang sakit, namun tempat ini juga memberi kesakitan pada orang-orang yang berada di dalamnya. Hanya ada dua kemungkinan yang pasti saat keluar dari tempat ini, sembuh atau mati. Entah bagaimana aku bisa memikirkan itu. Aku hanya diliputi ketakutan pada dua kemungkinan itu.

“Mbak… resep obatnya bisa ditebus di bagian farmasi ya!”

“Oh… iya sus,”

“Kondisi bapaknya memang sudah stabil sekarang, Mbak! Tapi masih dalam tahap observasi jadi kita belum bisa lepas semua alat-alatnya.”

“Iya sus,”

“Kemungkinan dokternya besok akan ngecek lagi.”

“Iya…”

Aku tidak bisa berkata lebih dari “Tidak” atau “Iya”. Saat aku sudah lelah secara fisik dan batin, aku tidak bisa berkata apapun dan hanya bisa memandang dengan tatapan hampa pada seseorang yang mengajakku berbicara. Sudah hampir dua minggu aku berada di rumah sakit. Walaupun surat ijin-ku untuk cuti belum disetujui, aku tidak peduli. Ibuku tidak bisa sering datang karena sejak ayah dirawat terkena serangan jantung, kondisi kesehatan ibu juga tidak stabil. Jadi aku pun membagi tugas dengan adikku. Aku berada di rumah sakit untuk merawat ayah sementara adikku di rumah untuk merawat ibu.

Jika bertanya bagaimana keadaanku? Aku tidak bisa melihat wujudku. Aku hanya dipenuhi kesakitan dan rasa lelah, hingga hatiku seolah sedang sekarat. Sementara tubuhku bergerak otomatis melakukan apapun yang seharusnya seperti layaknya robot tanpa jiwa. Tidak ada siapapun kecuali aku. Di dasar jurang ini tidak ada satu pun yang menemukanku. Aku tidak bisa mendaki kembali ke atas, tidak sanggup untuk kali ini. padahal aku berharap sebuah tangan yang terulur dari sana, yang bisa menarikku bangkit. Namun hanya untukku, tidak ada seorang pun yang semanis itu yang dikirim untukku.

“Ini pembayaran yang harus dilunasi, Mbak.”

“Oh… iya,” nominal yang terterah disana tidak sebanding dengan yang ada di dalam dompetku. “Mbak… saya mau ambil uang dulu bisa? Nanti saya kembali lagi kesini, soalnya uang di dompet saya ternyata gak cukup.”

“Gak apa-apa si Mbak. Tapi nanti harus antre lagi dari awal.”

Lihat selengkapnya