One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #15

Mengakhiri dalam satu babak

“Ayah saya sakit, Pak. Jadi saya harus merawat beliau di rumah sakit.”

“Tapi kan kamu bisa meminta tolong orang lain selagi ijin cuti kamu belum disetujui? Memangnya tidak ada orang lain yang bisa kamu mintai bantuan?”

“Tidak ada, Pak.”

“Ibu kamu?”

“Saya anaknya jadi saya yang harus merawat beliau.”

“Kan bisa setelah kamu pulang kerja?”

“Tidak bisa Pak.”

“Yasudah… itu memang hak kamu. Tapi saya terpaksa kasih kamu SP-1. Dengan peringatan ini saya berharap selanjutnya kamu bisa mengikuti prosedur kantor jika ingin libur atau cuti. Jangan samakan dengan sekolah dimana kamu bisa libur tanpa keterangan.”

“Baik, Pak.”

“Cukup itu saja. kamu boleh kembali berkerja.”

“Terima kasih, Pak.”

Prinsipku jelas, aku tidak akan menghindar dari hukuman jika aku memang melakukan kesalahan. Tetapi jika itu bukan kesalahanku maka aku akan memperjuangkannya. Karena itu aku tidak berusaha membela diriku atau setidaknya mengatakan yang sebenarnya saat dipanggil HRD di hari pertama masuk setelah pengajuan cutiku. Aku melebihkan beberapa hari dari yang disetujui HRD. Dan meskipun alasanku cukup jelas tetapi apa yang kulakukan memang tidak bisa dibenarkan. Aku menunggu ayah hingga dinyatakan sembuh dan bisa pulang, tetapi aku juga menundah waktu karena aku tidak siap kembali berkerja.

Hidup yang penuh dengan resiko. Setiap hari tidak pernah ada hari yang pasti. Lahir dengan keraguan bahwa hari esok yang lebih baik akan benar-benar ada. Sekalipun ini hari terakhir tetapi langkah kakiku terus berjalan. Karena akhir dan awal hanya keputusan yang kuambil. Sementara waktu dan orang-orang di sekitarku juga tidak akan terpengaruh. Ketika seseorang memutuskan seketika itu dia menghadapi sebuah resiko kehidupan.

Tapi seperti bom, air mataku dapat meledak sewaktu-waktu. Sekalipun kemarin, sehari yang lalu, beberapa jam lalu, satu menit yang lalu, satu detik yang lalu atau sepersekon detik yang lalu bibirku masih tersenyum atau tertawa, saat ingin menangis aku tetap menangis. Seandainya orang lain tahu apa yang telah aku tahan di dalam dada, semua yang aku ketahui dan tidak diketahui orang lain, semua yang telah aku lalui untuk bertahan. Apakah mereka masih akan meragukan luka yang kurasakan atau mereka justru lebih tenggelam dariku.

“Mau ngajuin cuti ya, Mas?”

“Iya, Mbak”

“Cie… yang mau nikah auranya cerah banget!”

Lihat selengkapnya