One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #2

Prolog

Namaku berasal dari kakekku yang katanya pandai dalam pranata mangsa atau pengaturan musim. Dia menyukai gugus bintang pleiades atau yang orang jawa menyebutnya sebagai Lintang Kartika. Nama yang cukup istimewa untukku karena kemunculan gugus bintang itu menjadi pertanda petani jaman dahulu untuk menanam padi mereka. Namun keistimewaan itu juga membuatku berbeda. Sebelum aku tahu tentang sebuah ilmu psikologi yang menjelasakan tentangku, aku sendiri sudah merasa bahwa aku seperti seorang diri di muka bumi ini. Bahwa orang sepertiku hanya berjumlah satu orang dari setiap generasi.

Mungkin berlebihan, tetapi kurang lebih yang kurasakan adalah kebenaran yang didasarkan pada penelitian psikologi. Aku pun juga sering merasa berbeda, merasa tidak memiliki teman yang mengerti dengan apa yang kubicarakan. Hingga pada akhirnya aku pun lebih sering berbicara dengan diriku sendiri di sebuah ruangan di dalam diriku yang bernama hati. Tak ada yang bisa mendengarnya selain aku dan seseorang atau sesuatu disana. Dan aku bisa menjadi liar di dalam diriku, memikirkan segala hal dan menyimpan kata-kata yang penuh rahasia. Itu berbeda dari tempatku yang berada di kehidupan nyata.

Psikologi menyebutku Introvert. Lalu orang-orang menyebutku pribadi yang mempunyai banyak masalah. Karena aku terlalu pendiam dan terlihat memendam masalah (padahal juga tidak, sikap merekalah yang menjadi masalahku). Mereka juga sering menganggapku penyebab masalah karena tidak tahu bagaimana caranya hidup yang seharusnya dan mereka yang harus membenarkan cara hidupku. Tapi yakinkah cara hidupku yang salah?

Menurut mereka hidup harus banyak berbicara, banyak tertawa, banyak membual, banyak mengobrol, basa-basi, menyenangkan orang lain, ekspresif, terbuka, tanpa peduli itu palsu atau tidak. Pokoknya hidup ya harus begitu. Sementara aku benci dengan hal yang palsu. Tidak menjadi diriku sendiri bukan cara hidupku. Aku juga tidak harus banyak bicara jika aku tidak mau, aku tidak harus tertawa jika memang tidak ada hal yang terasa lucu. Aku tidak harus membual, mengobrol, basa-basi hanya untuk menyenangkan orang lain. Ekspresi yang berlebihan membuat kita terlihat bodoh. Sebab orang lain tidak akan selalu menjaga apa yang aku buka untuknya. Semua orang termasuk diriku sendiri berpeluang untuk saling mengkhianati satu sama lain.

Tapi sekali lagi. Mereka berkata itu salah. Pemikiran dan prinsipku salah. Lalu kata mereka cara hidup merekalah yang benar. Tapi benar menurut siapa? siapa yang memutuskan itu benar atau salah? apakah survei atau mereka yang merasa telah memiliki kehidupan yang benar.

Aku memang berusaha menggugat. Tetapi jumlah orang-orang sepertiku tidak seberapa. Pada akhirnya minoritas harus selalu mengikuti mayoritas. Hidup ditengah-tengah mayoritas bukan tidak mungkin akan membuatmu kalah sebelum menggugat. Tetapi setidaknya aku ingin orang-orang tahu bahwa keberadaanku ada di muka bumi ini dan dengan penciptaan yang sama. Tidak bisakah kita hidup dengan saling menghargai? Omong kosong dengan toleransi yang kalian ucapkan, karena pada kenyataannya, kalian tetap memaksakan kehendak pada orang lain.

Lihat selengkapnya