Saat aku membuka mata untuk pertama kali di pagi hari, yang kulakukan adalah bertanya apakah ini diriku sendiri? apakah ini tubuh milikku? Seakan aku merasa asing setiap kali melihat diriku sendiri. Ada jiwa yang menjerit dalam diriku tapi selayaknya sebuah tembok yang kokoh, jeritan itu diredam oleh tubuhku sehingga tak seorang pun kecuali aku yang mendengarnya.
Aku lahir di keluarga biasa. Tidak ada istilah brokenhome ataupun istilah ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Seorang ayah yang biasa, ibu yang biasa dan adik laki-laki yang biasa-biasa saja yang setiap pagi duduk di meja masing-masing dan memakan sarapan mereka. Ibu selalu bangun pagi, memastikan kami semua dapat memakan masakan yang enak di pagi hari. Lalu ayah berangkat bekerja lalu adik berangkat ke sekolah.
Namun semua hal itu tidak menjamin hidupku bebas dari rasa tertekan dan depresi. Kadang karena mereka terlalu baik, aku seperti terpacu melakukan segalanya untuk mereka. Memaksakan diri lalu kecewa jika aku tidak bisa melakukan sesuatu yang kuinginkan untuk mereka. Kupikir orang tuaku adalah sosok yang polos. Mudah melihat kebaikan orang lain dan seringkali tak tahan melihat kejahatan yang sering terlihat di televisi. Mereka jarang mengakui bahwa dunia ini juga gelap, tidak selalu terang seperti yang mereka pikirkan.
Lalu aku? Kegelapan sudah ada dalam diriku saat aku menyadari bahwa ada cela antara tubuh dan jiwaku yang berupa ruangan kosong layaknya luar angkasa. Tubuhku ini seperti sepatu yang terlalu besar, seperti baju yang terlalu lebar atau topi yang tidak pas untuk kepala. Tubuh yang seperti wadah longgar dengan jiwa kecil yang mengisinya.
Aku tahu bahwa dunia ini gelap dan terang. Karena semakin banyak yang aku ketahui, semakin membuatku menderita. Aku melihat matahari pagi, melihat awan di langit, melihat langit yang warna birunya semakin memudar, melihat gerobolan semut yang takut akan kuinjak, melihat kerikil, melihat sekumpulan orang yang saling tidak peduli satu sama lain, melihat bahaya yang mungkin bisa datang kapan saja. Terlalu detail apa yang kulihat sehingga itu membebaniku.
Gedung yang ada di hadapanku seperti penjara. Seperti sangkar yang mengurung para burung di dalamnya. Padahal mereka mempunyai sayap tapi karena sangkar itu mereka tidak diijinkan untuk terbang dengan bebas. Yang mereka dapatkan adalah kenyamanan, seperti tempat tinggal, makanan, minuman dan perlindungan. Namun adakah yang pernah bertanya apa semua kenyamanan itu membuat mereka bahagia? Apakah bebas dari bahaya akan menjamin mereka hidup lebih lama dari apa yang tertulis pada takdir mereka.
Jari-jariku selalu gelisa setiap kali berhadapan dengan mereka. Berasal dari jenis yang sama, nenek moyang yang sama tidak membuat kita semua menjadi sama. Aku perlu untuk menyiapkan kata-kata, aku memerlukan waktu untuk membuat diriku selayaknya mereka.
“Hai…” aku menyapa beberapa rekan kerjaku yang sedang berkumpul di salah satu kubikel sambil memainkan ponsel merek. Tapi aku tidak bisa memaksakan diriku bersikap ceria secara berlebihan seperti yang dilakukan beberapa dari mereka. Itu menimbulkan efek kehampaan setelahnya. Aku menerapkan batas yang membuatku tetap sadar pada posisiku di antara mereka sehingga aku tidak akan merasa kecewa jika hal yang mengecewakan terjadi. (Akan kuceritakan nanti, kekecewaan yang kudapatkan dari mereka, yang mungkin sudah aku maafkan tanpa mereka meminta maaf tapi tidak bisa untuk aku lupakan)
Mungkin karena suaraku yang kecil atau karena aku yang kurang ceria sehingga tak satu pun dari mereka mendengar sapaanku. Aku baik-baik saja. Aku juga tidak ingin mengganggu kesibukan mereka. Karena bagiku mereka memiliki privasi masing-masing.