One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #4

Mengapa Kita Menangis?

Meski kami memiliki hidup yang bahagia, beberapa kali aku melihat ibuku menangis. Masalah ekonomi terkadang menjadi faktornya. Itu membuktikan jika orang yang terlihat baik-baik saja pun tidak selalu baik-baik saja seperti yang diucapkannya. Aku pun demikian. Setengah jam setelah meninggalkan ruangan atasanku, aku masih berusaha baik-baik saja. Aku menerima kritik apapun yang mereka berikan padaku.

Namun seseorang atau sesuatu dalam diriku ini memberiku kenangan-kenangan di masa lalu yang menyakitkan. Kenangan itu menumpuk dan kembali lagi setiap kali hal yang tak menyenangkan terjadi. Aku masih bisa menggigit bibir bawahku dengan keras. Tapi rasa sakit tetap rasa sakit. Sesuatu di dadaku itu terus mengeluarkan rasa nyeri.

Pada akhirnya aku tidak mampu berhadapan dengan seorangpun. Aku melarikan diri tapi tidak akan jauh dari tempat yang disebut toilet. Termenung tanpa melakukan apapun, menatap diriku sendiri dari pantulan cermin dan selalu aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Perlahan air mata merembes di kelopak mataku. Semakin kubendung, semakin itu mengalir. Jatuh seperti sebuah es dari langit yang mencair. Tanpa bisa kuhentikan.

Apa yang kutangisi? Mengapa hatiku menangis?

Orang-orang di luar sana pasti berpikir aku selemah itu. Aku terlalu mudah menangis, aku terlalu mudah menyerah. Rasa lelah yang tak bisa aku ungkapkan selalu muncul dengan bentuk air mata. Cangkangku kuat tapi hatiku rapuh. Kadang aku mengeraskan hatiku, membekukannya. Tapi hal yang semula akan kembali pada permulaannya. Aku tetap rapuh sekeras apapun aku mencoba kuat.

Masa lalu seperti hantu yang membayangi dikala jatuh. Ketakutan bahwa aku tidak bisa melakukan yang terbaik untuk kedua orang tuaku mengambil bagian terbesar dalam diriku. Aku ingin membuktikan sesuatu tapi tidak pernah ada apapun yang bisa aku buktikan. Aku juga ingin hidup masa bodoh dan normal seperti mereka tapi tidak pernah bisa kulakukan.

Untuk apa kita menangis? Mengapa kita menangis?

Hatiku mungkin seperti pompa yang ketika ditekan akan mengalirkan air mata. Atau seperti pakaian basah yang ketika diperas mengeluarkan air. Seperti itulah hatiku. Jika orang-orang menyalahkanku karena lemah. Salahkan hatiku yang terlalu sulit mengendalikan air mata. Namun setelah aku bisa menangis, menumpahkan segalanya, aku bisa kembali kuat. Seperti pakaian yang telah mengering, seperti kayu yang siap untuk dibakar kembali. Aku mendapat kekuatan baru setelah menangis. Aku lebih bisa menghadapi dunia setelah berhasil menumpahkan rasa sakitku dengan air mata.

“Ajeng sini deh… ada somay nie. Makan-makan!”

Aku selalu percaya bahwa seburuk-buruknya orang pasti mempunyai kebaikan dan sebaik-baiknya orang pasti mempunyai keburukan. Karena itu aku tidak pernah membiarkan diriku mendendam meskipun segala tidak akan kembali sehangat semula.

“Elo dari mana aja sih tadi lama banget ngilangnya?”

“Dari toilet mbak…”

“Jangan dibiasain ya ngilang-ngilang gitu. Kita mau kasih kamu kerjaan jadinya batal.”

“Iya mbak”

“Ayo… ambil lagi, masih banyak.”

Tidak ada yang pernah bertanya, kenapa aku menghilang saat itu? kenapa aku bersedih? apa bagi mereka alasanku tidak begitu penting. Atau aku yang memang pandai memakai topeng baik-baik saja seperti mereka? Kadang aku berharap ada seseorang yang setidaknya peduli pada posisiku dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku. Namun bukan hanya rekan kerjaku yang tak peduli, orang tuaku pun kadang tidak pernah bertanya ‘kenapa’ padaku.

Bukan berarti mereka tidak peduli. Orang tuaku adalah orang yang paling peduli padaku. Tapi aku lebih banyak berbohong, mengatakan bahwa aku baik-baik saja agar mereka tidak mencemaskan diriku. Seperti itulah hubungan manusia. Semakin kita menyayangi mereka, semakin kita tidak bisa menunjukan luka kita padanya.

“Eh… elo kok ngambilnya dikit banget? Jijik ya makan bareng kayak gini?”

“Enggak kok mbak. Aku udah kenyang aja.”

“Makan apa? Makan angin? Elo kan gak pernah makan siang.”

“Jangan terlalu ngirit deh… ntar sakit malah tambah boros.”

“Aku emang makan sedikit udah kenyang mbak.”

“Yaudah… terserah lo.”

Tidak mudah menjadi seorang yang punya rasa “Gak enakan”. Kamu tidak akan tega mengambil apa yang bukan hakmu atau mendahulukan kepentingan dirimu sendiri. Menjadi pribadi yang seperti itu akan membuatmu lebih banyak mengalah, termasuk dalam hal makanan. Aku terbiasa mengalah dalam keluargaku, aku memiliki pribadi itu dari ayahku yang selalu memakan sesuatu diakhir ketika kami semua sudah kenyang. Makanan sisa lebih tepatnya. Dia mengalah untuk memastikan kami lebih kenyang darinya.

Semua yang mereka katakan pun tidak ada yang benar, kecuali fakta bahwa aku memang sangat irit mengingat gajiku sebagai anak baru yang tidak seberapa. Tapi sekali lagi aku tidak pernah bisa mengatakan apapun yang kukatakan pada diriku sendiri. Semua alasan itu menguap begitu saja tanpa pernah mereka ketahui. Tidak penting juga untuk mereka ketahui.

Ini hari yang panjang. Pagi hari matahari sangat cerah tapi beberapa jam berikutnya semua berubah. Angin telah memberitahu kita bahwa hujan akan singgah entah siang ini atau sore nanti. Suasana hati pun bisa berubah layaknya cuaca. Mereka bisa sangat hangat, lalu mengeluhkan semua kemudian menjadi dingin seperti udara yang terbawa angin.

Lihat selengkapnya