One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #5

Copy Paste

Setiap hari hanya pengulangan. Seperti berjalan kaki, mengulanginya hingga sampai pada tempat tujuan. Setelah sampai, kita mengulanginya kembali untuk pulang. Tidak ada waktu untuk berhenti. Bahkan jika hanya mengambil nafas sejenak, tubuhku yang berdesak-desakan akan tetap terdorong menuju suatu tempat. Dunia yang terus bergerak tanpa berhenti mengharuskanku untuk ikut bergerak. Mengulangi rutinitasnya yang disebut rotasi. Atau revolusi untuk mengelilingi dunia lain.

Setiap hari kecuali hari libur, selama sepekan melakukan hal yang sama. Mungkin manusia super tidak akan mengeluh. Tapi aku tidak pernah menemukan makna dari kehidupan seperti itu. Mengapa kita manusia, hanya berpikir untuk menghasilkan materi? Aku akui kehidupan manusia tidak bisa berjalan dengan lancar tanpa uang. Sejak aku kecil pun masalah terbesar dalam keluarga maupun lingkunganku selalu melibatkan uang. Padahal itu hanya lembaran kertas, tapi bahkan aku pun tidak pernah sanggup membuangnya dengan cuma-cuma.

Ternyata sebagian diriku memang manusia. Itulah sebabnya aku masih mengikuti semua rutinitas menjadi manusia. Meskipun sesuatu atau seseorang dalam diriku yang tidak mempunyai nama selalu meraung sepanjang waktu. Apakah ini hidup? Apakah seperti ini kehidupan manusia dewasa? Monokrom, robot, penakut, hamba, kesepian, kosong dan jauh dari impian masa kecil. Aku ingat jika dulu aku mempunyai banyak impian. Terlalu banyak hingga aku hanya melihat tujuanku tanpa tahu jalanan apa yang aku lewati.

Sepasang anak perempuan dan laki-laki mengenakan seragam SMA berdiri disampingku dalam bus yang melaju. Mereka baru saja naik. Lalu membicarakan beberapa tempat nongkrong hits, VLOG sampai gadget terbaru. Aku tentu saja menguping tanpa sengaja, sambil mulai membisik pada hatiku bahwa aku tidak pernah punya kehidupan SMA seperti itu.

Saat SMA, aku sudah memahami kondisi ekonomi keluargaku. Melihat wajah kedua orang tuaku yang berkerja keras membuatku sungkan untuk meminta uang lebih. Akibatnya aku harus mengatur uang sakuku agar bisa digunakan untuk keperluaan lain seperti print tugas, kerja kelompok ataupun iuran mendadak. Aku jarang berkumpul dengan teman-temanku bahkan sekedar pergi ke kantin. Agar lebih hemat, aku pun memilih membaca buku di perpustakaan saat jam istirahat. Mungkin itu sebabnya mereka berpikir aku menghindari mereka dan mereka kemudian berpikir untuk menghindariku juga.

Dua halte lagi aku akan sampai di kantor. Tapi seorang bapak-bapak tua dengan kopiah dan kemeja batik lusuh naik ke bus yang penuh itu dengan ragu. Kupikir dia juga penumpang. Sampai kemudian suaranya yang bergetar mengucapkan doa-doa dan sholawat. Hatiku ngilu, hampir tak sanggup mendengarnya. Beliau mengamen namun bukan dengan lagu dan tanpa alat musik. Aku tidak peduli jika ada fakta para pengemis di beberapa tempat yang mempunyai aset ratusan juta. Kurasa beliau tidak termasuk dan beliau juga tidak mengemis.

Aku tidak sampai hati melihatnya lebih lama, aku ingin melarikan diri dari realita hidup yang sedang kusaksikan. Membayangkan jika salah satu orang tuaku akan sepertinya nanti, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Dan jika aku pergi meninggalkan orang tuaku sekarang, jika aku menyerah dari kehidupan ini, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka di hari tua mereka. Akan aku pastikan mereka baik-baik saja sebelum aku benar-benar menyerah.

Dua puluh ribu kusisipkan pada peci yang dipakainya mengumpulkan uang. Itu uang makanku untuk siang nanti dan tidak ada uang lagi selain uang sepuluh ribu untuk transport pulang nanti sore. Aku tidak bisa berhenti memikirkan beliau bahkan sampai aku turun dari bus. Melelahkan karena empatiku terkuras. Aku selalu memaki dunia yang tidak adil ini. Atau memang keadilan yang dimaksud adalah seperti itu. Tapi aku tidak pernah berpikir keadilan selama aku tidak bisa memilih menjadi diriku sendiri.

Lihat selengkapnya