One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #7

INTUISI, JUDGMENT, FEELING & IDEALIS

Mimpi seringkali menyiksaku. Entah itu mimpi di dunia nyata maupun di saat tidur. Mimpi di saat aku tidur seringkali berbau hal-hal yang kutakutkan. Bukan tentang hantu, melainkan ketakutan pada kehidupanku. Aku takut tersesat dan seringkali bermimpi melewati suatu jalan buntu atau jalan bercabang yang membingungkan. Mendaki suatu tebing yang curam tapi terperosok kembali. Atau ketika aku bermimpi kehilangan salah satu anggota keluargaku. Semua mimpi itu terasa begitu nyata layaknya lucid dream, dimana aku bisa menyadari bahwa apa yang kulihat sebenarnya adalah mimpi. Tapi aku sendiri tidak bisa bangun.

Sementara mimpi di dunia nyata yang menyiksaku adalah mimpi yang terasa terlalu jauh untuk kukejar (meskipun aku masih belum berhenti mengejarnya). Tangan dan kakiku penuh dengan rasa perih, lututku berdarah dan aku berjalan, tidak berlari. Impian yang terpatahkan oleh realita mengharuskanku bangun lebih cepat. Bukan karena impian yang tidak semua harus diwujudkan tapi semesta tidak mengijinkan beberapa impian itu terjadi.

Aku bukan sarjana. Berkerja di tempat itu adalah salah satu pilihan semesta. Juga rasa belas kasih dari tuhan setelah berapa kali ditolak berkerja. Toko swalayan, pabrik bahkan balai pelatihan abal-abal, sudah pernah kucoba. Untuk berkerja di tempatku saat ini, aku mengambil kelas satu tahun dan sisanya aku harus merendah agar bisa belajar dari orang lain.

Ada banyak yang harus dipertimbangkan. Terutama jika kita seorang anak pertama dari keluarga sederhana. Bukan berarti kami tidak pernah berkerja keras untuk mendapatkan lebih dari sederhana. Hanya saja sekeras apapun mencoba, hasil yang kami dapat tetap demikian. Ketika adikku harus melanjutkan pendidikannya, aku pun harus untuk memilih mengalah. Melepas impianku untuk sementara waktu sambil berharap mungkin ada jalan lain yang bisa kulalui selain jalan ini. Dan meskipun jalan itu mungkin lebih panjang atau lebih banyak membuat orang tersesat jauh dari tujuannya.

Luka pertamaku adalah muncul dari impian yang terhempas jatuh. Luka keduaku adalah dari kisah pertemanan yang tidak banyak membantu, Luka ketiga dari sebuah perasaan lebih pada seseorang yang tidak akan pernah bisa tersampaikan (Dan ada banyak lagi luka yang tidak bisa kusebutkan dengan gamblang).

Teman, aku mempunyai banyak teman sekalipun aku seorang yang cukup tertutup. Tetapi aku merasa selalu aku yang lebih banyak memberi tanpa pernah mereka mencoba memberiku bantuan. Aku tidak bisa menahan diriku untuk mendengar cerita mereka, menghangatkan hati mereka, menjadikan perasaan lebih baik. Itu seperti kewajibanku sebagai teman. Aku selalu mendengar sangat banyak mendengar. Tetapi ketika aku ingin bercerita sesekali saja, mereka pasti memalingkan wajah dengan cepat. Atau memberi argument yang justru membuatku semakin patah dan kecewa.

“Ajeng Bintang Kartika… sayangku! Shopping yuk, ada sepatu bagus kemarin di Mall.” Pesan singkat yang dikirim temanku.

“Maaf Ver! Aku harus hemat untuk bulan ini. Banyak kebutuhan di rumah yang harus aku beli, ayah kan juga gak sesehat dulu.”

“Yaelah… Jeng. Aku juga banyak kebutuhan kali. Tapi ya fine… fine aja.”

“Yah… karena kamu masih dapat uang saku dari orang tuamu Ver, makanya kamu baik-baik saja meskipun punya banyak kebutuhan. Kamu juga gak perlu mikirin tentang uang kulia kan?” balasku tapi hanya dalam hati.

Hanya sebatas di dalam hati karena jika aku mengungkapkan kata-kata yang mengandung sarkarme tersebut, hati Vera pasti akan terluka. Vera adalah teman SMA yang masih berhubungan baik denganku. Kami dulu sebangku dan bahkan selalu pergi kemana-mana berdua. Dia tipe ekstrovert yang mempunyai logika dan dominasi otak kiri yang lebih. Itulah sebabnya Vera pandai di akademik dan hidupnya pun cenderung seperti melewati jalan tol.

Meski begitu, aku tetap menjaga pertemananku dengannya. Terlebih karena pertemanan kami memang terasa lebih baik dengan perbedaan ini. Selama dia masih merasa membutuhkanku sebagai temannya, aku akan tetap ada untuknya. Mengambil peran layaknya ibu peri yang peduli tanpa meminta dipedulikan.

“Mbak Karen… kenapa?”

“Enggak… gak apa-apa kok Jeng.”

“Pasti ada masalah ya?”

“Yah… namanya juga hidup.”

“Cerita aja mbak! Siapa tahu itu bisa buat mbak jadi lega…”

“Biasa Jeng, masalah rumah tangga. Ibu mertuaku itu loh kayak gak suka banget kalau aku masih kerja, dia kira aku gak bisa ngerawat suamiku dengan baik karena kesibukanku apa? Padahal ya selama ini aku sama suamiku gak ada masalah apapun. Kita pintar kok membagi waktu untuk masing-masing. Aku pusing tau gak sih sama sindirannya kalau kita ketemu.”

“Emang nyindir gimana mbak?”

“Yah… pokoknya dia selalu bawa-bawa soal jam kerjaku yang terlalu sore pulangnya sampek ngebiarin suamiku bikin mie instan sendiri atau nyuci piring sendiri juga. Sumpah ya Jeng, kalau kamu menikah sama anak kesayangan itu bikin repot sendiri. Apa-apa serba salah...”

“Suami mbak gak tahu?”

“Yah… tahu. Tapi dia selalu aja bilang, ‘sabar Ren, ibu emang gitu… terlalu perhatian dari dulu’. Tapi orang sabar juga ada capeknya dong… Jeng.”

“Duh… mbak. Aku jadi ikut sedih. Susah memang kalau jadi orang serba salah. Mbak coba aja tunjukin kalau mbak gak seperti yang mertua mbak pikirkan.”

“Iya… Jeng, aku juga berusaha kayak gitu. Tapi kayaknya susah ngubah pemikirannya tuh orang tua. Mungkin dari dulu dia emang gak suka aku nikah sama anaknya, aku bukan anak orang kaya dan terpandang jadi gak pantas buat anaknya.”

“Mbak… jangan mikir gitulah. Mertua mbak pasti cuma terlalu sayang aja sama suami mbak makanya dia selalu pengen yang terbaik. Kenapa mbak gak coba omongin langsung aja sama mertua mbak, secara baik-baik sambil bercanda. Terus mbak bilang kalau mbak bakal ngasi yang terbaik buat suami mbak walaupun mbak tiap hari juga kerja.”

“Males… Jeng, baik-baikin tuh orang. Aku kayaknya mau pindah rumah aja, sekalian yang jauh biar dia gak bisa datang tiap hari ke rumah dan inspeksi mendadak.”

“Wei… ada yang lagi mamah-dede time nie. Napa muka lo Ren? Asem banget?” Mas Bimo datang dan langsung menginterupsi pembicaraan kami.

“Males… gue cerita sama lo Mo… Bemo.”

Lihat selengkapnya