Masa lalu itu seperti penyakit yang sulit disembuhkan. Menyisip di dalam memori dan menunggu waktu melumpuhkan pikiran. Masa depan tidak pasti tapi sering menghantui. Bagaimana bisa bertahan dengan keduanya? Mengikuti aliran hanya membuatku terluka tanpa ada waktu untuk menyembuhkannya. Karena aliran tidak selalu tenang, kadang bebatuan yang dilewati menghantam badan. Kadang aliran yang terus ke bawah membuat jatuh hingga ke dasar jurang, terus mengalir hingga bertemu lautan dengan ombak yang tidak pernah tenang.
Bahkan mengikuti aliran kehidupan tidak memberi ketenangan. Aku membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Dan karena aku tidak selalu bisa melakukannya maka itu memberiku kekhawatiran semakin banyak. Lebih dari itu, hal yang ingin kuhindari dari aliran kehidupan adalah pengulangan. Bagaimana aliran yang membawa kita ke tempat yang serupa dengan luka yang serupa pula. Aku tidak ingin sebuah masa lalu terulang, tapi kenyataan yang aku miliki kadang memberiku rasa sakit yang sama.
“Kamu sih Jeng kemarin aku ajak gak mau!” suara Vera dari seberang telepon.
“Kan aku udah bilang aku harus hemat, Ver.”
“Cuma liat-liat kan gak dosa. Eh… kemarin juga aku ketemu Nando loh, si pak ketua kelas. Dia jalan sama pacarnya yang anak se-kampus dia. Gak cantik-cantik amat sih tapi kayaknya pinter dan lumayan kaya. Jiwa jomblo-ku merontah Jeng?”
“Oh… udah punya pacar lagi si pak ketua. Gak pernah betah jadi jomblo ya dia.”
Selalu ada nama yang memberi rasa sakit yang sama. Dalam diam yang menjadikan bisu. Tidak ada siapapun yang tahu karena itu sebuah rahasia. Namun ketika nama itu disebut, dia seperti kotak Pandora. Sebuah masa lalu, benar-benar rahasia masa lalu dari seorang remaja yang tidak tahu bagaimana berkata. Aku menyimpan perasaan pada pemilik nama itu. Namun hingga pemilik nama itu pergi, aku tetap menyimpannya.
Cinta seorang remaja introvert selalu mengikuti pola, jika aku menyukainya maka dia tidak menyukaiku. Dan jika ada yang menyukaiku, justru aku yang tidak nyaman dengannya. Tapi Axcel berbeda. Dia seperti bukan bagian dari pola itu. Mungkin karena dia ketua di kelasku makanya dia mudah akrab dengan siapapun. Axcel bukan seorang yang memberiku kisah cinta di masa SMA. Tetapi tanpa kusadari dia banyak menyisip dalam kenanganku disana.
Axcel adalah laki-laki pertama yang menyadari perubahanku. Saat aku berusaha menjadi remaja perempuan. Berdebat dengannya tanpa sadar memberiku kemampuan berbicara yang lebih baik. Aku mengunjungi banyak tempat karenanya meskipun kami tidak pergi berdua. Dia dengan kehangatan hati yang dimilikinya telah membuatku merasa nyaman kala itu. Hanya saja, aku tidak mempercayai seseorang sepertinya. Seseorang dengan hati yang tidak bisa menetap dan aku pun meragukan jika dia pernah memiliki cinta yang tulus.
Aku mengabaikan perasaanku, aku mengabaikan perasaannya. Waktu berlalu, seperti tidak ada apapun yang terjadi. Tapi saat dia tidak pernah terlihat lagi dan kita telah menjalani kehidupan dewasa permulaan, ada perasaan yang masih tertinggal. Perasaanku yang telah kuabaikan dan perasaannya yang kuabaikan. Itu sebuah luka yang bertahan. Bahkan ketika dia telah melupakan perasaan itu, justru aku yang tidak bisa melupakannya. Itu membelenggu hatiku. Membuatnya enggan memberi ruang untuk perasaan yang lain.
“Azriel belum datang?” suara itu membuat perhatianku teralihkan. Ada sebuah tanda pengenal dengan tulisan “Januardi William Development Staff” di kemeja yang dikenakannya.
“Belum. Mungkin sebentar lagi.”
Dia menganggukkan kepala tanda mengerti. Tapi lucunya dia masih berada disana. Aku tidak mungkin mengabaikan fakta bahwa dia sebenarnya hanya berbasa-basi.
“Kamu sendiri selalu datang pagi kayak gini?”
“Iya…” aku menjawab singkat.
“Betah gak kerja disini?”
“Lumayan,”
Jeda cukup lama. Dan dia masih bertahan di pintu ruangan. Terlihat sedikit nervous tapi berusaha ditutupi. Sementara aku berpura-pura sedang menghidupkan komputer yang sebenarnya sudah hidup.
“Eh… itu pulpennya jatuh!”
“Oh… iya,”
“Masih lama ya si Azriel? Suka telat ya tuh anak.”
Aku tersenyum tipis, “Emang ada perlu apa kok kayaknya penting banget?”
“Enggak sih, cuma kita biasa futsal bareng jadi ada yang mau diomongin.”
“Oh…” sahutku, tapi dalam hati aku bertanya, “Kenapa gak lewat WA, SMS atau telepon aja kalau memang penting?”
“Kamu emang anaknya irit bicara gini ya? Kayaknya di divisi ini cuma kamu yang gak pernah kedengeran suaranya, padahal yang lain suka heboh.”
“Aku bicara seperlunya aja sih,”
“Oh… gitu.”
Jeda lagi. Ini pembicaraan absurd yang pernah kulakukan. Sama-sama merasa canggung dan selalu kehilangan tajuk.
“Wei… Mas Boy! Pagi-pagi udah ngapel aja!” goda Mas Bimo yang baru datang.