One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #9

KEPERCAYAAN YANG HILANG

Terlalu lelah untuk sekedar bernafas. Saat menutup mata, dunia justru semakin terlihat disana. Semakin berisik, semakin membisik. Mendesak penat. Aku merasakan semua itu setiap saat. Entah dari mana asalanya. Rasanya seperti terjebak di balik sebuah cermin, dimana aku bisa melihat segalanya dari sana tapi tidak pernah diijinkan untuk menyentuh apapun.

Kebahagian tidak pernah bertahan sepanjang waktu. Pada detik berikutnya semua menghilang. Lenyap seperti malam yang melenyapkan segalanya. Kupikir dunia ini akan berbaik hati meskipun hanya sedikit. Namun ada harga yang harus dibayar dari setiap senyuman. Aku telah kehilangan kepercayaan pada kehidupan yang menjanjikan sebuah akhir yang indah pada waktunya. Karena kepercayaan itu telah menyusut hari demi hari, detik demi detik.

“Cie… yang kemarin dianterin pulang sama Mas Boy…”

“Siapa Mas?” tanya Lesti

“Tuh…” Mas Bimo menunjukku dengan dagunya.

“Oh… udah jadian?”

“PJ dong harusnya!” goda Mas Bimo lagi. Tapi aku memilih tidak menanggapi.

“Udah jadian lo?” Lesti bertanya padaku. Aku tidak tahu jika jawabanku menjadi hal yang penting untuknya.

“Apa?”

“Yaelah… pura-pula bego! Lo sama Mas Boy udah jadian?”

“Enggak… kok.”

“Jangan malu kali Jeng!” sahut Mas Bimo lagi.

“Beneran enggak kok Mas. Kemarin juga cuma kebetulan.”

“Berarti belum aja ya? Tapi kalo udah jangan lupa PJ ya!”

“Apaan si Mas Bimo?”

Seperti sebuah kebiasaan, setiap pagi selalu ada topik candaan yang dimiliki Mas Bimo. Aku juga terkadang ingin menjadi seseorang yang sepertinya, yang selalu bisa menanggapi segalanya dengan santai. Seperti aliran air tenang, tidak seperti aliran hidupku yang cenderung tidak stabil. Tapi bukan berarti orang seperti Mas Bimo tidak memiliki kelemahan yang menjadi masalah untuk orang lain. Dia terlalu santai bahkan untuk masalah yang genting sekalipun. Disaat semua sedang berusaha memecahkan masalah, tipe orang seperti Mas Bimo justru menunggu masalah itu selesai dengan sendirinya. Dan dia seperti tidak memiliki beban walaupun tidak memiliki peran.

“Bimo… laporan yang kemarin cepet diselesain ya, gue mau ajuin ke pak bos hari ini.”

“Yaelah… buru-buru amat! Nyantai aja kali…”

“Kalau nyatai di pantai sana. Gue mau laporan itu cepet-cepet di-acc. Biar kalo sewaktu-waktu gue pergi, gue gak hutang apapun.”

“Sok drama lo, Ren!”

Aku mendengar percakapan mereka dan merasa atmosfer ruangan itu telah berubah. Mbak Karen tidak terlihat seperti biasanya. Dia menjadi sedikit dingin, tidak menyapa siapapun saat tiba di kantor. Tidak ikut-ikutan menggodaku seperti yang sering dia lakukan dengan Mas Bimo. Entahlah… jika aku bisa membaca pikiran seseorang, mungkin aku bisa mengetahuinya tanpa bertanya. Tapi aku tidak berani bertanya kali ini. Ada perasaan dalam diriku yang seolah tahu bahwa sikap itu dia tunjukan padaku. Antara kemarahan dan rasa kecewa padaku.

“Mbak… ini hasil Invoice,”

“Taruh aja disitu!”

“Jangan dingin-dingin kali, Ren!” tegur Mas Bimo.

“Diem lo, Mo! Gue lagi gak mood berantem sama lo.”

Mbak Karen membentak Mas Bimo, tapi justru aku yang merasa dia sedang membentakku. Kali ini aku benar-benar yakin kalau Mbak Karen memang mempunyai masalah denganku. Dia tidak mengatakannya seperti biasa karena mungkin masalah itu lebih dari masalah sepeleh. Aku selalu benci situasi dimana aku tidak tahu apapun. Tapi apapun yang menjadi masalah itu justru berhubungan denganku. Mencari tahu kebenaran akan membuatku sakit. Karena kebenaran di mata orang lain tidak selalu yang sebenarnya.

“Ternyata diem-diem kayak gitu ya, Mbak!”

“Gue juga gak nyangka,”

“Aku pikir anaknya polos gitu, ternyata juga pinter nusuk dari belakang.”

“Yah… namanya juga manusia. Mana ada yang bener-bener baik.”

“Tapi ini parah banget loh, Mbak. Masa dia gak mikir kalau selama ini Mbak Karen itu udah baik banget sama dia?”

“Kan tawarannya pak bos juga bagus, siapa yang berani nolak?”

“Trus kita gimana dong, Mbak? Kita bakalan di PHK bareng gitu?”

“Ya enggaklah. Paling cuma aku sama Bimo.”

“Tapi Mas Bimo kok kelihatan santai-santai aja? Malah belain tuh anak lagi.”

“Dia kan gak punya otak. Gak peduli bini sama anaknya makan apa tiap hari. Jadi meskipun Azriel bakal geser posisinya ya dia pasrah aja.”

“Kalo gini aku jadi kangen pak bos lama! Kenapa sih harus diganti Pak Jaya Wardana yang sok bijaksana gitu?”

“Hus… jangan jelek-jelekin orangnya di kantor! Ntar denger baru tahu rasa lo.”

“Biarin! Biar tuh orang denger sekalian, Mbak…”

Lihat selengkapnya