One Persen Of People

Renita Sylvia
Chapter #10

HATI DENGAN BUNGA BAJA

Sekarang segalanya terlihat suram. Mataku buta dari warna kebahagiaan. Yang dapat terlihat hanya warna perak. Nafasku berat. Beban tak kasat mata menumpuk. Jika aku berpikir itu ringan, mungkin itu ringan. Tapi langkahku tetap terasa berat. Aku tidak memiliki siapapun untuk membagi beban itu. Bahkan untuk mengatakan sesuatu yang menghibur pun aku tidak bisa. Aku pernah tidak bisa. Kata-kata hanya selalu tertahan di lidahku. Sekali saja aku ingin seseorang yang menghiburku, memberiku semangat seperti yang pernah kulakukan pada mereka. Tetapi itu tidak ada. Lagipula aku memang tidak seharusnya mengarapkan balasan.

Hari ini aku berjalan lambat. Berharap aku bisa menghindari segala hal yang terjadi. Waktu yang berjalan tidak menyelesaikan apapun. Justru itu semakin mencekik benakku. Sekarang aku berdiri di hadapan semua masalah itu, bertekad mengakhirinya. Lalu masalah lain muncul dengan pertanyaan, bagaimana aku harus memulai? Waktu yang terus berjalan, mengejar masa yang akan datang. Tapi tidak ada satu detik pun yang tercipta untukku.

“Ayah…”

“Hm… ada apa?” Tapi kulihat wajah ayah begitu lelah. Diusia itu harusnya ia tidak perlu berkerja keras. Harusnya aku yang mengambil alih tanggung jawab. Jadi aku mengurungkan niat bercerita. Aku tidak seharusnya mengeluh padanya, karena ia tidak pernah mengeluh padaku.

“Gak jadi. Gak penting juga kok…”

Sering aku berharap, satu orang saja dari sekian ribu orang di dunia ini. Tidak adakah satupun yang bersedia mendengar isi hatiku. Memintaku melepaskan bebanku dan mendengar jerit hatiku meminta tolong. Ada banyak orang, tetapi mereka tidak pernah benar-benar untukku. Saat aku ingin mengatakan sesuatu, mereka yang kuharapkan selalu memiliki masalah yang mereka miliki. Aku pun memundurkan langkah, memutar balik, mengurungkan niat. Tidak mungkin aku membagi beban pada orang yang juga memiliki beban.

“Mas… aku mau minta saran boleh gak?” aku bertemu Mas Bimo di koridor, dia tampak baru tiba di kantor.

“Hm… apa?” Tapi ketika dia berbalik menatapku. Kulihat penampilannya berbeda, tampak sedikit berantakan.

“Mas Bimo keliatannya ada masalah ya?”

“Enggak... gak ada pa-pa,” jawabnya pelan. Itu tampak jelas. Karena meskipun dia orang yang santai, namun Mas Bimo bukan tipe pendiam.

“Gak jadi deh, Mas. Kapan-kapan aja aku minta sarannya.”

“Oh… yaudah,”

Bahkan dalam hal ini aku tetap tidak bisa meminta sebuah kata pun. Kata yang kuharapkan bisa menjadi lentera di tengah gelap. Aku tidak pernah bisa mengabaikan perasaan mereka. Pemahaman yang terlalu cepat seperti tanda merah untuk berhenti. Aku tidak lebih penting dari mereka dan mungkin aku memang tidak layak mendapatkan apapun dari mereka. Sekalipun itu hanya sebuah kata atau dua kata penyemangat.

“Mas Bimo kenapa sih, Mbak? Keliatan stress banget, dari tadi ijin ke restroom terus sampai bau rokoknya nyengat banget.” tanya Lesti pada Mbak Karen.

“Lagi berantem sama bini. Tapi kali ini bini-nya sampai mau minta cerai.”

“Beneran? Kok bisa?”

“Ya… bisalah. Si Bimo kan emang terlalu nganggep semua hal itu remeh. Makanya keinginan istrinya pun gak pernah dia anggap penting.”

“Mas Bimo terlalu santuy sih. Kan perempuan juga pengen dimanja, diperhatiin.”

“Kayak lo ya yang pengen diperhatiin, Mas Boy?”

“Ih… apaan Mbak Karen? Sorry… ya, aku gak minat sama orang yang seleranya rendah kayak gitu.”

Lihat selengkapnya