“Setan! Setan lo ye” Jiya berteriak panik. Kedua tangannya mencoba memukul. Berharap penampakan yang ia lihat segera menjauh.
“Ji! Ini gue, Brian! Aw! Sakit woy!” Brian menjelaskan. Memperlihatkan wajahnya lebih jelas dengan cahaya senter dari handphonenya.
“Laki-laki?” Jiya menjauh.
“Ji! Gue Brian, panitia acara bedah buku juga” Brian mencoba menjelaskan lebih detail. Mengingat pesan-pesan yang dikirimkan Tyas sebelum ia bergegas berangkat menyusul Jiya tadi.
“Sekarang lo tenang dulu gausah panik. Kita keluar dari sekolah dulu yah, kita cari tempat terang” katanya kemudian meyakinkan Jiya yang masih menatapnya. Memandang Jiya lembut penuh perhatian. Menatap wajah dihadapannya yang berantakan dan masih terpancar rasa takut.
“Sini” Brian mencoba memberikan tangannya untuk Jiya genggam. Walau menatap tangan itu sangat lama, Jiya tetap menggenggamnya erat. Brian merasakan bagaiamana Jiya sangat ketakutan sejak tadi. Ia segera membawanya keluar dari sekolah.
“Aw!” Jiya mengeluh kesakitan saat kakinya menabrak sesuatu yang keras saat keduanya tepat didepan gerbang sekolah
“Motor? Bukannya ini masih di aula?” Tanya Jiya heran saat meraba benda keras didepannya. Melihatnya sekilas motor yang jatuh tergeletak dihadapannya dengan asal.
“hehehe. Sorry, itu motor gue. Tadi buru-buru. Jalannya juga gak begitu keliatan. Semoga aja gak nabrak barang-barang sekolah”
Jiya terkekeh.
“Kata siapa lo gak bisa ketawa? Gue udah dua kali bikin lo ketawa kan?” sindir Brian. Mengubah ekspresi Jiya seketika.
“Gue anter sampe asrama yah?” bujuk Brian.
“Asrama gue deket lagian, ngapain dianter-anter segala”
“Gue tadi denger dari Tyas. Lo gak boleh ditinggal sendiri kalo lagi gelap. Dan… harus genggam tangan lo erat supaya lo tau kalo disampig lo ada orang” Jawab Brian dengan mengangkat tangannya yang masih menggenggam jemari Jiya erat. Jiya mencoba melepaskan, namun tenaga Brian lebih besar, dan tidak berniat untuk melepaskan.
“Yaudah oke” Jiya menyerah pada akhirnya.
“Asrama deket ini ngapain pakekk motor segala sih?” gerutu Jiya saat melihat Brian berusaha keras menghidupkan motornya.
“Yaudah, kita jalan sambil gandengan berarti” goda Brian, berhasil membuat Jiya diam tak ingin membantah. Sebenarnya, jemari Jiya sejak tadi sudah melemas. Pasrah dalam genggaman Brian. Namun gengsinya yang sangat besar membuatnya menggerutu sejak tadi.
Saat Jiya menurut menaiki motornya, Brian malah membawa Jiya mejauh dari jalan menuju asrama. Jiya yang memejamkan kedua matanya sejak berada dimotor Brian, tidak menyadari arah yang dilewati Brian.
“Lo gak bawa gue ke asrama yah?” tegur Jiya saat menyadari perjalanannya yang jauh. Dan saat ia membuka kedua matanya, sekelilingnya terang.
“Cari makan dulu yah, lo laper pasti” Jawab Brian lalu menghentikan laju motornya dipasar raya. Tepat didepan tempat makan.
“Tunggu disini bentar, jangan kabur. Ini jauh loh dari asrama” katanya kemudian setelah memesan makanan untuknya dan Jiya. Jiya menurut tanpa menjawab perkataan Brian. Memilih melihat-lihat handphonenya yang sepertinya butuh perawatan saat ia membantingnya tadi.
Brian kembali dengan dua kantong besar ditangannya.
“Ganti baju dulu disana. Gue udah izin sama orangnya” Ucap Brian sembari memberikan kantong yang ia bawa.
“Biar besok sakitnya gak parah banget” tambah Brian saat Jiya hanya diam tak menjawabnya.