"Bersantailah sejenak. Masalah yang kau hadapi mungkin tak selesai, tetapi jiwamu akan lebih siap menghadapinya."
Suara benturan pintu yang dibanting keras oleh Bu Yatmi membuatku tersentak. Pak Harjanto geleng-geleng kepala, tangannya memijat pelan dahinya yang keriput. Matanya terpejam erat, seperti berharap bahwa yang barusan terjadi hanyalah mimpi di siang bolong.
"Pak?" panggilku lembut seraya berlutut di sebelah pasienku. "Bapak sakit kepala?"
"Pusing sedikit saja, Tan," sahut Pak Harjanto pelan. "Bapak minta tolong diantar ke kamar saja."
Aku mengangguk dan segera berdiri, kemudian memutar kunci pengaman kursi roda dan memutar satu-satunya alat mobilisasi Pak Harjanto. Dengan hati-hati, kudorong kursi itu menuju kamar besar yang isinya sudah dimodifikasi.
Tak ada lagi ranjang besar dengan perabot mahal yang sebelumnya memenuhi ruangan itu. Yang tersisa adalah ranjang pasien elektrik yang terletak di tengah ruangan dengan tiang infus berdiri tegak di sebelahnya. Di samping kiri ranjang terdapat bedside monitor yang kini dalam kondisi mati, lengkap dengan juntaian kabel elektroda yang terikat rapi. Dua tabung oksigen besar dan satu tabung kecil berdiri tegak di sudut ruangan, terpasang humidifier dan nasal kanul yang siap digunakan sewaktu-waktu. Lemari besi terletak di seberangnya, berisi perlengkapan pasien seperti kasa, gunting, bengkok, beberapa mangkuk stainless, spuit, dan obat-obatan yang sudah diresepkan. Ada pula alat pengukur tensi darah dan termometer digital, juga stetoskop untuk mengukur tanda vital jika sedang tidak dipasang bedside monitor. Kalau dilihat lagi, kamar ini mirip seperti ruang VIP di rumah sakit.
Hanya satu benda asing yang membuatku merinding setiap kali membuka pintu. Replika burung hantu dengan bulu cokelat keemasan yang tampak sangar dengan bola mata besar seperti mengawasi gerak-gerikku. Walau letaknya cukup jauh, di atas lemari linen bersih di sudut ruangan, tetapi tetap saja tatapannya membuatku merasa terintimidasi. Namun, untuk sekadar menanyakan atau meminta memindahkan, aku tak berani. Terlebih kata Bi Iyem, burung hantu itu adalah hadiah dari istri Pak Harjanto, sebagai permintaan agar pria itu berhenti berburu satwa saat masih muda dahulu.
Tiba di depan ranjang dan mencoba tak menghiraukan burung hantu itu, aku membantu Pak Harjanto berdiri dan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur. Setelah tubuhnya terbaring, kuatur ketinggian dan posisi kepala sesuai kenyamanannya menggunakan remote kontrol. Terakhir, kubentangkan selimut hingga setinggi dada Pak Harjanto.
"Ada lagi yang bisa dibantu, Pak?" tanyaku lembut. Rasa iba menjalariku kala menatap lelaki rapuh di depanku.