One Stop Loving

Yuanita Fransiska
Chapter #4

Part 4: Mom's Calling

"Walau badai masalah menghadang, ingatlah paling tidak satu hal untuk tetap disyukuri."


Jeritanku mampu membuat pria berjaket biru itu tersadar. Matanya yang semula terbelalak seketika berkedip. Dengan satu gerakan kilat, ia berbalik dan membanting pintu.

Tanganku melingkar di depan dada dan memeluk tubuhku rapat. Seketika aku berjongkok, memeras raut wajah menjadi kerutan. Jantungku berlompatan, degupnya seolah menembus tulang rusukku. Oh, apa yang terjadi? Semua begitu cepat sehingga aku berharap kejadian memalukan tadi hanyalah mimpi yang tak nyata. Aku malu!

Setitik air turun dari sudut mataku. Baru kali ini aku merasa seperti ditelanjangi oleh pria tak dikenal. Bulu kudukku bergidik, menyadari kalau ini pertama kalinya seorang cowok melihat sebagian besar tubuhku. Padahal, tak pernah sekalipun aku memakai baju yang terbuka dan terlihat. Aku hanya ingin mempersembahkannya pada suamiku. Bukan pada laki-laki tak tahu malu yang sembarangan masuk ke kamar seorang gadis.

Dering ponsel kembali mengagetkanku. Sepertinya penting, karena sang penelepon tetap gigih menghubungi walau sempat tak kuacuhkan. Seluruh persendian tubuhku terasa kaku saat aku mencoba berdiri, seolah sudah seminggu aku berjongkok. Seperti mengawang, aku berjalan menuju rak tempat ponselku berada.

"Halo. Ada apa, Bu!" sapaku saat sudah meraih ponsel.

"Kintan! Tan!" teriak ibuku.

"Ibu? Ada apa, Bu?"

"Kintan!" Suara tangisan menelusup gendang telingaku. "Tan, Pak Dobleh datang lagi!"

Aku menelan ludah. Bukankah baru seminggu yang lalu?

"Memang Ibu belum bayar? Kan, sudah Kintan kirim uangnya," sahutku menjaga nada suara setenang mungkin.

"Ibu … Ibu baru bayar setengahnya, Tan," ujarnya terbata, membuatku curiga.

"Sisanya?"

Hening sejenak. Hanya desahan napasku yang memburu seolah terpantul dari dalam telepon.

"Kamu pikir Ibu habis-habisin uang kamu? Kamu kan tau, Ibu harus bayar uang sekolah Satria sama Tara. Belum lagi uang makan, uang jajan adikmu. Ibu juga harus bayar arisan, seragam pengajian. Kalau nggak ikut kumpul, kan, Ibu nggak enak. Kamu mau Ibu jadi buruh tani lagi? Padahal anaknya sudah jadi perawat di kota?"

Perawat di kota? Hah? Tempat ini lebih terpencil dibanding kampungku dulu.

"Bukan begitu, Bu …," sangkalku yang langsung berhenti begitu Ibu menyambar.

"Terus apa? Kamu nuduh Ibu nggak bayar Pak Dobleh karena Ibu hambur-hamburin uang kamu, kan? Kalau mau nyalahin, salahin Bapak yang ninggalin utang segunung!"

Lihat selengkapnya