One Stop Loving

Yuanita Fransiska
Chapter #5

Part 5: What Kind of Son is He?

"Mungkin masa lalu punya andil dalam membentuk masa depan, tetapi kedewasaanlah yang dapat memilih benar atau salah."


"Ehm, anu, maaf, Pak. Saya pikir nggak ada orang!" ujarku panik. Baru saja hendak melangkah mundur, suara serak Pak Harjanto menahanku. Kakiku seolah menancap di tanah, membuatku hanya berdiri mematung di ambang pintu.

"Ndak apa, Tan. Ayo masuk. Bapak kenalkan sama Rezvan, anak Bapak."

Kulirik cowok yang disebut Rezvan tadi. Kali ini ia memicingkan mata, menatapku dari atas kepala hingga kaki. Kurang ajar! Apa dia membayangkan tubuhku yang hanya berbalut handuk tadi?

“Tan? Ayo, masuk!” panggil Pak Harjanto lagi, membuatku gelagapan. Sepertinya Pak Harjanto memperhatikan aku dan si cowok penyusup itu saling melempar tatapan.

Dengan berat hati, aku mengangguk. Kuangkat kaki yang sekarang seolah memiliki akar tertancap ke tanah. Begitu bergerak, segera aku menuju meja yang terletak di sebelah bedside monitor untuk menaruh nampan berisi minuman.

"Wah, sudah waktunya minum susu, ya? Saya sudah boleh minum langsung, kan?" tanya Pak Harjanto semringah. Matanya berbinar, seperti anak kecil yang baru dibelikan es krim.

“Maaf, Pak,” desisku penuh penyesalan, “Tadi Dokter Henry telepon saya, katanya masih harus pasang selang makan. Tapi beliau nggak bisa datang, jadi saya yang pasang.”

“Yah …!” Luapan kekecewaan terdengar dari bibir Pak Harjanto, membuatku seperti ibu pelit yang melarang anaknya makan terlalu banyak gula.

Aku segera menghampiri Pak Harjanto dan setengah berjongkok di sampingnya. Tak kuhiraukan tatapan dingin dari pria di sebelahnya yang belum juga bersuara.

“Maaf, ya, Pak. Bapak masih harus menggunakan selang karena belum bisa menelan secara benar. Kalau dipaksakan makan seperti biasa, khawatir tersedak dan makanannya masuk ke saluran pernapasan," terangku lembut, tetapi tegas. Aku ingin memberi penjelasan ini bukan hanya untuk pasienku, tetapi juga anaknya yang kini bersedekap dengan mata tajam seperti patung burung hantu di atasnya. “Kalau Bapak mau, saya telepon Dokter Henry, biar Bapak bisa bicara langsung sama beliau,” ujarku seraya mengeluarkan ponsel dari saku.

“Ya sudah. Bapak manut saja, kalau itu yang terbaik,” tukas Pak Harjanto. “Malas ngomong sama Henry, iso-iso, aku disengeni.”

Aku tertawa mendengarnya, begitu juga Pak Harjanto. Kami berbagi lelucon tanpa melibatkan cowok dingin yang tak sedikit pun membuka mulut.

“Saya siapkan dulu peralatannya ya, Pak,” pamitku beranjak setelah tawa kami reda. Namun, aku masih belum bisa bebas karena merasa seolah ada selubung es yang masih tertancap di punggungku berkat tatapannya.

Aku membuka lemari peralatan dan mengeluarkan selang NGT dengan ukuran delapan belas French seperti yang diresepkan Dokter Henry. Saat hendak berpindah ke kotak obat untuk mengambil lidocaine, lubricant, dan syringe yang baru, terdengar Pak Harjanto memanggilku.

“Tan, kamu belum kenalan sama anak Bapak?”

Terlanjur menoleh, aku tak dapat mengontrol perubahan raut wajah. Entah bagaimana, aku hanya bisa nyengir sambil menggigit bibir.

“Ayo, kemari, kenalan dulu. Ini Rezvan, anak Bapak satu-satunya. Ganteng, kan?” godanya.

Aku tersenyum dan mengangguk alakadarnya sambil berjalan mendekati tempat tidur. Sesungguhnya aku ingin muntah mendengarnya. Ganteng? Yah, fisiknya mungkin iya, tapi tingkahnya sangat jauh dari kata itu. Melihatnya membuatku teringat tokoh kartun Flint Ryder di film animasi Tangled. Cowok tinggi kekar dengan mata besar dan sedikit jenggot tipis, berpadu dengan rambut sedikit panjang dibelah tengah. Oh, harus kuakui dia memang ganteng.

Menghormati pasienku, aku berusaha menyingkirkan rasa enggan. Kuletakkan lidocaine dan pelumas yang baru kuambil di meja dorong, kemudian berjalan ke arah cowok itu. Dia masih saja cemberut, kini tak sedikit pun melihat ke arahku. Kuulurkan tangan saat jarak kami hanya terpaut satu langkah.

“Kinta—”

Lihat selengkapnya