"Tak ada yang lebih menyeramkan dibanding berada di hutan sepi dan gelap, sendirian."
"Kamu yakin mau pergi?" tanya Bi Iyem saat aku sedang mengenakan helm di garasi.
"Iya, Bi. Tenang aja. Aku sudah biasa naik motor hujan begini waktu kuliah," sahutku dengan nada dibuat santai sambil memasang pengait helm. Aku beralih pada jas hujan milik Pak Pardi yang tergantung di sudut ruangan. "Susunya sudah habis banget, kasihan Bapak."
Bi Iyem mendesah. "Hujannya deras banget, Tan. Jalanannya becek, susah kalau naik motor. Bibi panggil Mas Evan aja, ya, biar diantar naik mobil. Daripada—"
"Jangan, Bi!" tukasku cepat. Buru-buru kukenakan jas hujan dan menyalakan mesin motor, kemudian duduk di atas jok. "Sudah nggak apa-apa. Bibi jaga Bapak aja pas aku pergi."
Aku menarik tuas gas, memanaskan mesin yang jarang digunakan ini. Butuh dua menit hingga suara raungan knalpot stabil, padahal aku ingin cepat pergi. Aku tak ingin Bi Iyem tiba-tiba berlari ke dalam memanggil cowok yang ia sebut Evan itu. Jangankan mengantarku, pada ayahnya sendiri saja sudah berlaku kasar. Bisa-bisa aku dicekik dan dibuang ke semak-semak.
Setelah berpamitan pada Bi Iyem, aku melewati pintu garasi dan melajukan motor menembus derasnya hujan. Percikan air yang telah menempuh jarak ribuan kilometer dari awan ini menimbulkan sensasi seperti dilempari kerikil tajam. Terlebih wajahku yang tak ditutup, karena kaca helm semakin berembun dan dapat menutupi jarak pandang.
Melewati jalan beton yang hanya cukup untuk satu kendaraan, aku disuguhkan pemandangan rimbunan pepohonan di sebelah kanan. Bentangan sawah yang berundak terlihat di kejauhan, terbentang luas menghijau dan basah. Tak ada rumah lain terlihat sejauh mata memandang, hanya kekayaan alam yang teduh, sejuk, tetapi sepi dari kehidupan manusia.
Angin berembus kian kencang, menggoyahkan keseimbangan yang susah payah kukendalikan. Kufokuskan konsentrasi pada jalanan yang tergenang. Sebenarnya aku agak khawatir dengan jalanan yang menurun saat hujan. Licin. Belum lagi aku pernah terjatuh pada kondisi ini saat praktik lapangan dulu. Aku terus meyakinkan diri bahwa aku bisa dan tidak akan terjerembab lagi.
Aku berhenti sejenak begitu tiba di jalan raya, menimbang apakah harus melewati jalan memutar yang sangat jauh atau menembus jalan pintas menuju pusat kota. Kulirik jam tangan yang menunjuk di antara angka lima dan enam. Oh, tidak! Sebentar lagi malam dan jalanan pasti akan sangat gelap. Aku harus bergegas dan kuputuskan lewat jalan pintas yang tidak diaspal. Pak Pardi pernah mengantarku melewati jalan ini saat hendak membeli susu tiga minggu lalu.
Kondisi jalanan yang becek dan berlubang membuatku menyesal. Terlebih suasana hutan di kanan dan kiri membuat cahaya dari langit yang tak seberapa, sulit untuk menembus rindangnya kanopi. Tak peduli betapa kotor dan menjijikannya kakiku, yang ada di pikiranku hanya bagaimana cara cepat sampai tujuan. Dalam hati aku mengumpat, betapa menyusahkannya daerah yang dipilih Pak Harjanto untuk menghabiskan masa tua. Jauh dari peradaban dan segala pemenuhan kebutuhan.
Aku mendesah lega begitu tiba di satu-satunya apotek yang ada di perbatasan kota. Harap-harap cemas, aku masuk ke bangunan berbentuk rumah itu sambil berdoa semoga barang yang kucari ada. Tak kupedulikan penampilanku yang seperti baru saja tercebur sawah.
Selesai membeli lima kaleng susu, aku kembali berjibaku dengan badai yang tak kunjung reda. Suara katak terdengar bersahutan di kejauhan, seolah memanggil hujan agar turun semakin deras. Langit semakin gelap, tak menyisakan sinar untuk menerangi jalan. Hanya mengandalkan lampu motor, aku meliuk menghindari jalan berlubang dengan jantung berdebar.
Hawa dingin menembus jas hujanku yang sepertinya tak mampu lagi menahan derasnya air. Pikiranku berkecamuk, antara ingin kembali saja dari jalan sepintas dengan kabut yang mulai turun, atau terus melanjutkan perjalanan yang baru seperempat jalan. Embusan angin membelai tengkukku dengan lembut, menegakkan bulu kuduk yang tersembunyi di balik tudung. Oh, tidak. Rasanya aku tak akan kuat menahan takut kalau terus melaju. Lebih baik putar balik saja.