One Stop Loving

Yuanita Fransiska
Chapter #7

Part 7: The Savior

“Malaikat penyelamat itu datang dalam wujud iblis.”


Entah berapa lama aku membiarkan hujan menemani tangisanku. Kabut yang turun semakin pekat, mengembuskan hawa dingin yang semakin menyekap. Suara burung hantu terdengar samar, diiringi suara jangkrik bernada datar dan kodok terus memanggil hujan. Kegelapan turut memerangkap, hanya sinar temaram ponsel yang sedikit memberikan ketenangan bahwa aku tidak benar-benar sendirian.

Mataku menyipit saat menangkap sorot cahaya di kejauhan. Bunyi mesin mobil terdengar memecah kesunyian hutan, membuatku ingin bersorak menyambutnya. Air mataku berhenti dengan sendirinya mengiringi rasa lega bahwa aku akan selamat. Akhirnya, ada juga orang yang lewat sehingga aku bisa meminta bantuan. 

Tak kupedulikan rasa sakit yang semakin menjalar di kaki saat aku memaksa tubuh untuk berdiri. Kulambaikan kedua tangan agar pengemudi itu bisa melihat dan tidak menabrakku yang berada di tengah jalan. Dalam hati, aku terus berdoa semoga dia orang baik dan bersedia menolongku.

Mobil jip yang menuju ke arahku semakin mendekat dan berhenti dua meter di depanku. Aku terpana saat sesosok pria turun dari mobil sambil membuka payung. Apa hujan telah mengaburkan pandangan sehingga aku berkhayal bahwa dia benar-benar datang? Iya, dia … Rezvan, anak Pak Harjanto. Aku semakin tak percaya saat ia menghampiri dan memayungiku, membuatku yang sejak tadi berpikiran buruk tentangnya menyesal.

"Hujan begini ngapain maksa naik motor, sih? Kenapa nggak minta antar aja sekalian dari tadi? Bikin susah aja!" 

Aku menelan ludah. Sambutan yang kuharapkan seperti adegan aktor cowok nan tampan memayungi seorang gadis yang terjebak hujan seperti di film romantis kandas sudah. Kuralat juga kalau aku menyesal telah berpikiran buruk tentangnya. Manusia ini memang benar-benar menyebalkan!

"Saya … saya nggak mau ngerepotin Pak Rezvan," ucapku terbata. Sial, aku malah menciut di depannya. Kemana sesumbarku tadi?

"Justru sekarang bikin repot! Malam-malam, hujan-hujanan. Motor rusak juga," dengkusnya menatap sepeda motor yang kini teronggok di kubangan. "Dan jangan panggil gue, Pak! Emang gue udah bapak-bapak apa?"

Kepalaku tertunduk. Tangis yang tadi sudah reda kini menetes kembali. Hatiku terlalu rapuh untuk dibentak setelah semua yang kualami hari ini. 

"Hei! Malah bengong! Ini pegang!" senggaknya sambil menyerahkan gagang payung. Aku menengadah seraya mengusap air mata di pipi dengan tangan sebelum menerima pemberiannya. Sepertinya ia tak menyadari kalau aku menangis karena hujan telah menyamarkan air mata, atau memang ia benar-benar tak peduli.

Tanpa pelindung tubuh dari hujan, ia mengangkat motor hingga berdiri. Ia menarik paksa bungkusan kaleng susu yang tersangkut di stang. Aku ternganga saat melihatnya mendorong kendaraan itu ke semak-semak di tepi jalan hingga terdengar bunyi berdebam yang cukup keras. 

"Kenapa motornya digusrakin?" tanyaku spontan tanpa mengindahkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Biarin. Besok diambil terus diservis!" ujarnya tak acuh. "Ayo, cepat naik! Emang lo nggak dingin apa?"

Menurut ngana? pekiku dalam hati. Iya, aku tahu dia baik karena mau menjemputku, tapi siapa yang tahan dengan segala kesinisannya semenjak datang?

Sambil bersungut-sungut, aku berjalan terseok mengikuti langkahnya menuju mobil. Ia melempar susu di jok belakang, kemudian segera duduk di jok kemudi. 

Aku mengamatinya sejenak, kemudian berjalan terpincang menuju mobil. Kututup payung dan kubuka pintu penumpang di sebelah supir. Susah payah aku berusaha naik ke jok yang tinggi. Kakiku terasa amat ngilu saat kupaksakan menjadi tumpuan beban tubuh.

Lihat selengkapnya