“Tumbangnya logika bisa terjadi saat hati sudah tertutup rasa benci.”
Dering alarm membuat kelopak mataku terbuka.
Aku mendapati tanganku mendekap guling bersarung merah muda. Di atas tubuhku, terbentang selimut yang menutup hingga bahu. Kulitku bergesekan langsung dengan katun lembut yang menutupi kasur empuk. Kugeser badan hingga telentang dan pemandangan langit-langit ruangan tertangkap retinaku.
Tunggu, bukankah sebelumnya aku sedang terbaring di padang rumput? Sekarang, di mana aku?
Seketika aku terduduk. Mataku spontan melihat sekeliling, seperti kamera ponsel yang mengambil gambar panorama. Lemari, bufet, dan perabot lain tampak familiar dalam ingatan. Tentu saja, ini kamarku!
Kepalaku berdenyut saat kupaksa memutar balik memori apa yang terjadi sebelumnya. Ya, itu dia. Semalam aku berada di mobil saat pulang dari membeli susu setelah berjibaku dengan hutan gelap di kala hujan. Seseorang datang menjemputku. Rezvan, anak Pak Harjanto. Dia membawaku dalam mobilnya. Dan sekarang aku berada di kamar. Apa ada selintas kesadaranku yang hilang?
Ada sesuatu yang rasanya tak wajar. Aku menunduk dan menatap selimut yang jatuh di pangkuanku. Udara mengalir lembut, membelai kulitku yang terbuka.
Hah? Terbuka?
Perutku mendadak mual mendapati tak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhku, selain pakaian dalam. Jantungku seolah mendapat setruman listrik yang lebih hebat kala menyadari tubuh bagian bawahku bernasib serupa. Astaga! Apa yang terjadi?
Air mataku seketika meluncur turun. Aku menutup mulut yang mulai mengeluarkan isakan. Pikiranku berkecamuk, tak percaya dengan kenyataan. Bagaimana bisa aku bangun dengan kondisi mengenaskan seperti ini? Seingatku, aku hanya terlelap sekejap saja.
Rezvan, dia yang bersama denganku saat itu. Apa yang sudah ia lakukan padaku? Mungkinkah dia sudah merenggut satu-satunya kehormatan yang aku miliki? Tidak. Tidak mungkin. Mimpi itu! Ya ampun, ternyata mimpi itu adalah pertanda. Dan aku menikmati semua yang terjadi di alam bawah sadar itu. Bodoh! Ternyata mimpi itu adalah refleksi dari apa yang terjadi di dunia nyata. Aku telah membiarkan Rezvan merenggut apa yang aku jaga untuk suamiku kelak. Orang yang akan kucintai sepanjang hidupku. Bukan yang aku benci sejak pertama bertemu.
Aku menggeram kuat. Tangisanku semakin meledak. Kulempar guling dan bantal, kugigit selimut. Aku merasa telah menjadi manusia paling hina di dunia ini.
Semua itu gara-gara Rezvan sialan. Oh, biar saja aku mengumpat. Dia pantas mendapat makian paling kasar yang bisa kukatakan. Harusnya aku waspada! Dibalik tingkah menyebalkannya, ternyata dia memiliki maksud jahat yang terselubung. Apalagi dia baru saja pulang dari luar negeri. Di mana dia bersekolah kata Bu Yatmi kemarin? Jerman? Entahlah, aku tak peduli. Mau dari antah berantah sekali pun, dia tak berhak membawa kebiasaan pergaulan bebas itu ke sini! Apalagi dia melakukannya padaku!
Aku menjambak rambut dengan kuat. Aku meraung, memaki, dan menumpahkan sumpah serapah. Aku tak punya alasan lagi untuk hidup. Aku ingin mati saja.
Tidak. Bukan aku yang harus mati. Namun Rezvan, laki-laki biadab itu. Aku tak sudi walau ia mau bertanggung jawab. Semua perkara tidak akan mudah jika semua pria melakukan hal serupa. Mengambil harta wanita yang paling berharga, kemudian berdalih dengan tanggung jawab akan menikahinya. Siapa yang mau menikah dengan seorang pemerkosa? Laki-laki seperti itu harus mendapat pelajaran!