One Stop Loving

Yuanita Fransiska
Chapter #9

Part 9: Rabbit Hole

“Salah satu hal yang patut disyukuri adalah saat ada orang yang mau peduli.”


Menangis selama satu jam di kamar mandi menguras energi dan juga panas tubuhku. Setelah alarm dari perutku berbunyi kasar, aku menyudahi ratapan walau masih menyisakan sesak. Segera aku berpakaian dan membubuhkan bedak tipis untuk menutupi bengkak di mata. Yah, walau usaha itu tak berhasil karena wajahku tetap saja terlihat seperti baru disengat lebah.

Aku mencari jaket untuk menghangatkan tubuh yang semakin menggigil. Ah, mengapa disaat membutuhkan, benda yang dicari selalu tak ada? Kuingat-ingat memang aku tak memiliki banyak pakaian hangat, hanya satu yang kotor semalam—sepertinya sudah dicuci Bi Iyem, dan satu lagi, sweater bertudung telinga kelinci hadiah ulang tahun dari sahabat-sahabatku semasa SMA. Ya ampun, masa aku harus memakainya? Namun, tak ada pilihan lain, daripada aku mengalami hipotermia lebih lanjut. Semoga tak ada yang melihat aku memakai pakaian konyol ini, terutama Rezvan. Uh, kalau mengingatnya, aku ingin bersembunyi di lubang, seperti kelinci.

Bunyi nurse call menyadarkan bahwa aku telah melupakan tugas utamaku. Aku segera melesat menuju kamar Pak Harjanto melalui pintu penghubung. Suara batuk panjang menyambutku. Aku semakin merasa bersalah.

“Bapak, maaf ya, Pak. Semalam saya ketiduran,” ucapku panik. Kunaikkan posisi tempat tidur menjadi tegak untuk meningkatkan ekspansi dada supaya Pak Harjanto lebih mudah bernapas. “Apa yang Bapak rasakan sekarang?”

“Ndak apa-apa, Tan. Bapak malah khawatir sama kamu. Kata Bi Iyem kamu jatuh dari motor,” sahut Pak Harjanto alih-alih menjawab pertanyaanku.

Aku tersenyum penuh rasa syukur menyadari bahwa masih ada orang yang peduli padaku. “Saya nggak apa-apa, Pak. Makasih udah khawatir. Bapak mau minum susu sekarang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Tadi udah Bibi kasih, Tan.” Suara Bi Iyem membuatku berjingkat. Sejak kapan dia masuk ke kamar? “Semalam juga Bibi kasih, empat jam sekali, kayak yang kamu ajarin. Sekarang kamu makan aja, gih! Dari semalam belum masuk apa-apa perutnya. Bibi udah beliin bubur sumsum,” sambungnya.

Aku menggigit bibir, teringat kejadian memalukan tadi pagi. Beruntung Bi Iyem tak membahasnya, tetapi tetap saja aku masih salah tingkah.

“Ehm, anu, makasih ya, Bi. Untung ada Bibi, kalo nggak, Bapak kasihan semalaman lambungnya kosong,” ujarku menunduk, tak berani menatapnya. Aku beralih pada Pak Harjanto. “Bapak mau mandi? Biar saya siapkan air hangatnya.”

“Udah!” Jari-jari gempal melingkar di lengan kananku, kemudian menarikku hingga mau tak mau aku berdiri. “Kamu makan aja, biar Bibi yang urusin Bapak. Nanti kamu sakit!” paksa Bi Iyem sambil mendorongku ke luar. Sempat kulihat ia nyengir dan mengibaskan tangan sebelum menutup pintu di belakangku.

Aku memandang sekitar dengan waspada. Desau angin tipis yang melalui jendela terbuka membelai tengkukku lembut. Langit di luar masih mendung, tetapi tak segelap kemarin. Kunaikkan tudung kepala jaketku, untuk melindungi dari hawa dingin, juga dari kehadiran Rezvan yang tak kuharapkan. Tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya jika aku bertemu dengannya lagi setelah kebodohanku tadi pagi.

Begitu tiba di dapur, semangkuk bubur sumsum dan segelas teh sudah tersedia di meja. Tanpa pikir panjang, aku langsung duduk dan meneguk teh manis yang masih hangat. Lambungku yang kosong langsung menyambut kehangatan yang masuk melalui kerongkongan. Sesaat kemudian, keringatku keluar berikut tahak yang keras.

Lihat selengkapnya