Ule tersenyum melihat rumah tongkonan yang mulai tampak jelas dari ketinggian. Jika di depan Ardan Ule berbohong, maka dalam hati Ule ia mengelak. Jujur, rasa rindunya masih sama sejak kali pertama bertemu dengan gadis asli Toraja.
Ule melirik Ardan yang sudah sejak tadi tertidur pulas, berbeda dengan dirinya yang terus-menerus membidik melalui kaca jendela pesawat. Ule merasa rugi jika tidak mengabadikan keindahan Toraja dari atas ketinggian, entah kapan lagi ia menginjakkan kakinya di sini. Jika bukan karena hunting ia tidak akan datang kesini, seandainya saja Tuhan mengizinkannya bersama, mungkin setiap saat Ule memiliki alasan kenapa ia harus kembali dan rasanya di tahan agar tidak pergi. Sudahlah, Ule tak sanggup jika kembali mengingat.
Bandara Buntu Kunik, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Lima menit lagi pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat di Bandara Buntu Kunik Tana Toraja. Bandara yang baru saja di resmikan pada bulan Agustus lalu, bandar udara yang di bangun untuk mengantikan bandar udara (Pongtiku) di Rantetayo, yang pembangunannya tidak memungkinkan untuk dikembangkan. Ule jadi teringat kala ia pertama kali mendarat di Rantetayo, dan berjalan kaki bersama Ardan, lalu menikmati udara sejuk di sepanjang jalan di suguhkan dengan panorama alam yang anti maisntream banget dan kemudian bertemu seseorang, seseorang yang sampai saat ini masih tersimpan baik di hatinya. Lupakan. Ule memejamkan matanya saat pesawat sudah mendarat Empat menit yang lalu. Otaknya benar-benar down.
“Kampret banget tuh, anak!” kesal Ule saat menyadari Ardan lebih dulu meninggalkannya keluar pesawat.
Ule kemudian mengedarkan pandangannya dan menemukan sosok yang membuatnya marah. Dengan lagkah kakinya yang cepat, Ule menghampiri Ardan yang tengah duduk di ruang tunggu.