Selain menawarkan keindahan alam, Toraja juga banyak menawarkan budaya juga tradisi yang mistis dan eksotis juga tentunya unik dan menarik. Meski jarak yang tidak main-main juga jalanan terjal dan menantang tak membuat semangat para wisatawan menyurut untuk bisa secara langsung melihat adat Toraja. Toraja sendiri seperti sebuah magnet, memiliki daya tarik yang mempesona, membuka mata betapa indah dan kayanya negara Indonesia. Banyaknya tongkonan dan lumbung, Batu Menhir, patung Ne’ Gandeng, patung kerbau dan Gong Belang, menjadi koleksi antik dan tentunya anti mainstream di dalam Muesum Ne’ Gandeng.
Museum Ne’ Gandeng, Desa Pelangi, Kecamatan Sa’dan Balusu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan
Ule dan Ardan terhipnotis oleh daya magnet panorama yang terhampar di Museum Ne’ Gandeng. Ule membidik semua apa saja yang dilihatnya, lain dengan Ardan yang masih terpaku. Meski tahun lalu ia datang ke Toraja, namun rasanya ini kali pertama, sungguh tak ada rasa bosan untuk tetap stay di sini. Andai dalam hidup hanya ada ketenangan, mungkin Ardan akan memilih menetap di sini hidup tanpa beban.
“Asli, Le!” seru Ardan yang mulai mengarahkan kameranya ke arah rumah Tongkonan yang interiornya sangat unik. Selain Tongkonan, juga banyak Menhir yang terdiri dari berbagai ukuran.
“Gak ada duanya, sih.” Ule tak henti-hentinya berdecak kagum.
“Eh... Le, katanya Sitsul mau kesini juga.”
“Oh ya? Mana?” tanya Ule celingukan.
“Baru otw katanya,” balas Ardan.
Ule mengangguk dan melanjutkan kegiatannya berburu foto. Detik berikutnya, seketika Ule teringat Resi kala ia melihat Sitsul. Padahal keduanya sangat berbeda, Resi ataupun Sitsul masing-masing memiliki daya tarik tersendiri. Ule selalu menutup renungan hayalannya saat bayang-bayang Resi begitu nyata dalam pandangannya. Ternyata melupakan tak semudah mencintai. Ule salah paham akan pilihannya. Dulu ia pikir setelah semuanya selesai dan tidak ada pertemuan lagi, ia akan lupa segalanya. Namun ternyata salah besar, justru tak pernah bertemu membuat Ule sesak dan susah untuk melupakan Resi.
“Arghhh!” Ule menjambak rambutnya frustrasi. Ia berharap kenangan itu cepat berlalu, tapi kenapa semakin hari kenangan itu terus saja mengikutinya.
“Hadapi dengan senyuman, Le.” Ule menoleh dan betapa kagetnya melihat Sitsul telah berdiri di sampingnya, “Sitsul... Sejak kapan di sini?” tanya Ule kikuk. Jangan sampai Sitsul mendengar unek-unek juga teriakannya .
“Sejak tadi, Le.” Sitsul mengembangkan senyumnya hingga lesung pipitnya tergambar sangat jelas bahkan menjadi lesung pipit tercantik yang pernah Ule lihat.
“Jadi—“ Ule menggantungkan kalimatnya.
“Iya.”
“Jadi malu,” terang Ule.
“Santai, Le. Setiap orang pasti akan melampiaskan kemarahannya jika itu memang sulit untuk di simpan. Lebih baik begini, dari pada begitu, namun menyesatkan.”
“Lo benar.” Ule melangkahkan kakinya, di sampingnya Sitsul ikut menyamai langkahnya.
“Ya, memang benar...,” lanjut Sitsul menoleh tepat melihat wajah Ule dari samping dengan jarak yang sangat dekat. Ia tidak ingin munafik, maka dari itu, Sitsul mengakui jika cowok di sampingnya sekarang sangatlah tampan. Hidungnya mancung jika di bandingkan dengan hidungnya. Alisnya memiliki bentuk yang sangat cantik jika dimiliki oleh perempuan, sebab telah memiliki alur untuk di gambar menggunakan pensil alis, meski tidak tebal. Dan jangan lupakan bola matanya, juga rambutnya yang sekarang berwarna caramel brown dan semakin menambah nilai tersendiri. Dan terakhir dari penampilan juga gaya bahasanya. Sitsul bagai tersihir. Namun Sitsul sadar, tidak seharusnya ia terlalu mengagumi seseorang yang belum lama dikenalnya.