Ule menatap resah tanggal yang ia tandai dalam kelender di ponselnya. Beberapa hari lagi, waktunya tidak banyak. Andai kata yang dapat meringankan kesedihan, Ule akan mencari penawarnya, namun sampai sekarang ia tak kunjung menemukannya. Dalam hati, Ule menuntut dirinya untuk tidak menyerah, waktunya masih ada empat hari, dan semoga tersemogakan keinginannya untuk benar-benar pergi dari kenangan itu.
...
Sejak tadi Ule merasa ada yang berbeda dari Ardan. Sejak pertemuannya dengan Sitsul, cowok beralis tebal itu selalu saja melamun dan sesekali tersenyum lebar kadang juga alisnya yang bergoyang. Entahlah Ule tak ingin ikut campur, tapi Ule rasa kali ini ia harus ikut andil, di takutkan sedang terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Atau jangan-jangan kerasukan, Ardan itu memang nekat, tadi saja sewaktu di Muesum, dia terus memanggil nama Ne’ Gandeng. Tanpa berpikir lagi, Ule mendekati sofa dan menjatuhkan dirinya di dekat Ardan.
“Elo itu kenapa, sih, Dan? Bahagia banget, deh,” heran Ule, sedangkan Ardan membalas dengan senyuman paling manis.
Ule mendelik, “Lo pikir gue nafsu!”
Ardan balik menoyor kepala Ule, “Yang nawarin lo siapa! Gue tuh hanya membagikan rasa bahagia gue, Le. Salah gak sih!?” rajuk Ardan.
Ule merapikan rambutnya yang tadi di jambak Ardan. “Bahagia itu sederhana, Dan. Lihat elo bahagia, gue juga bahagia dan itu enggak salah.”
“Sohib gue!” Ardan merangkul bahu Ule, “Gue cerita atau gue simpan?”
“Cerita!” jawab Ule cepat.
Ardan melepaskan rangkulannya di bahu Ule dan memperbaiki posisi duduknya agar ia fokus dan tenang dalam menceritakan kebahagiannya.
“Jadi—“
Ule mangguk-mangguk mendengar cerita Ardan mengenai Sitsul. Sitsul yang banyak kesamaan dengan dirinya, juga hobby hingga tanggal dan bulan lahir mereka sama. Ule turut bahagia mendengarnya. Awal pertemuan dengan Sitsul, cara Ardan menatap Sitsul sudah cukup menjelaskan bahwa ia tertarik dan bahkan mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama. Hal yang sama Ule rasakan saat pertama kali melihat Sitsul, tertarik. Tertarik dengan retorika yang ada dalam diri Sitsul, namun sepertinya, Ule tak lagi bisa mengungkapkan itu di depan Sitsul terlebih lagi di hadapan Ardan. Jika dirinya masih tak bisa, setidaknya sahabatnya, Ardan bisa melupakan Selva dengan cara mencintai Sitsul.
“Le...!”
“Hmm...,” guman Ule yang sedang memejamkan mata.
“Lo mau kan?”
Ule membuka matanya, “Mau apa?”
“Jawab dulu, mau atau enggak?” desak Ardan.
“Enggak!”
“CK. Jahat bener, dah,” beo Ardan.
“Makanya ngomong yang jelas.”
“Comblangin gue sama Sitsul! PUAS!”
Ule mengangga sejanak lalu terbahak sekeras-kerasnya. “Hahaha...!”
Ule mengusap perutnya yang sedikit nyeri akibat tawanya yang terlalu di keraskan dan kesannya terlalu dipaksakan.
Bukan hanya Ardan yang mengesalkan, tetapi juga Ule. Di antara banyak temannya, hanya Ardanlah yang tahu sisi humoris dan menjengkelkan dalam diri Ule. Anaknya tukang suruh, keras kepala juga mematikan lawan bicaranya. Itulah Sulaiman Adiyeksa Wijaya pewaris tunggal WIJAYA GROUP.