Tepat pukul 08:22 Ule telah tiba di depan lokasi yang Sitsul kirim tadi pagi. Dan betapa kagetnya, lokasi ini mengantarnya Ke rumah mantan kekasihnya. Rumah Resi. Astaga. Ardan bahkan melongo tak percaya, apa iya? Sitsul ada hubungan keluarga dengan Resi. Bahkan Ule tak lagi mendengar apa yang diucapkan pak sopir di depannya.
“Maaf, Mas. Apa ini rumahnya?”
Ule dan Ardan diam.
“Mas?”
“Mas?” Pak sopir itu menekan tombol klakson sebanyak tiga kali. Barulah Ule dan Ardan tersadar.
“Mas ini kenapa?” tanya Pak sopir menoleh kebelakang. Ule dan Ardan menggeleng bersamaan.
“Le, rumah mantan!”
Ule menutup mata dengan kedua tangannya. Entahlah takdirnya bagaimana setelah ini. Orang yang selama setahun terakhir tidak pernah dilihatnya. Dan hari ini Ule melihat Resi, masih sama. Cantik dan semakin cantik. Ule berulang kali mengucapkan kalimat astagfirullah untuk tetap berpihak pada metodenya untuk melupakan Resi.
“Bisa-bisa di lacciki itu, Mas...!” ucap pak sopir.
Ule menatap langit-langit mobil, “Lacci itu apa, Pak?”
“Serius ki ndak kita tahukah?”
Ule semakin bingung dengan gaya bicara si pak sopir. Pak sopir terkekeh pelan, ia sebenarnya tahu kalau kedua pemuda tampan ini berasal dari kota Monas. Ia tidak akan paham jika tidak di translate ke dalam bahasa Indonesia.
“Begini, Mas. Lacci itu artinya merebut perempuan dari kekasihnya, karenanya si lelaki tidak berani dalam melamar kekasihnya, Mas. Nah, jika sudah seperti itu, Mas ini akan di lacci. Begitulah,” jelas pak Sopir.
Andai doa juga tujuan sama, mungkin dari dulu gue siap lahir batin melamar Resi! Ule membatin sedih, jadi ceritanya dia di lacci oleh siapa nantinya.
“Bapak ini orang kota mana?” tanya Ardan.
“Saya lahir di Bugis, yang di besarkan di Makassar dan sekarang menetapnya di Toraja.”
“Hebat, ya, Pak,” balas Ardan.
“Hebatnya dimana, Mas?”