One Suku

Lisa
Chapter #7

Kete'Kesu

Kete'Kesu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan

Tiba di Kete’Kesu, yang mampu ketiganya ucapkan adalah, Toraja luar biasa. Berdiri disini kita tidak hanya melihat wisatawan domestik saja, tetapi juga wisatawan mancanegara. Jadi kesannya, masyarakat Toraja tak perlu dan tidak harus keluar negeri hanya untuk bertemu bule, sebab merekalah yang di datangngi oleh bule. 

Betapa senangnya Sitsul menginjakkan kaki di Kete’Kesu. Destinasi ini pilihan Resi, meski dirinya keturunan Toraja, ini kali pertama Sitsul datang ke Toraja. Dan sungguh ia sangatlah menyesal baru menyempatkan diri kesini. 

Lain cerita dari Ardan, sejak tadi ia mengingat tempat ini. Dan alhasil tempat ini memang belum pernah di datangnginya. Sepertinya Ule salah tebak, yang dulu ia jelajahi Londa bukan Kere’Kesu. Pantas saja, tidak ada sedikit pun potongan memori di sini. 

“Elo salah tebak, kan, Le!?”

“Sepertinya.”

“Bukan sepertinya, tapi emang iya.”

Ule memilih berjalan menyusul Sitsul dari pada mendengar Ardan mengomel.

Memasuki area Kete'Kesu, mata akan langsung meneliti setiap rumah tongkonan yang saling berhadapan sejajar. Ule selalu terpaku dengan interior rumah adat Toraja, atapnya yang melengkung semakin menambah nilai keunikannya. Bahkan kata Resi dulu, rumah adat tongkonan mampu bertahan hingga puluhan tahun.

Berjalan di sepanjang pameran atau yang lebih akrab di sapa pasar seni. Membuat Sitsul terkagum-kagum atas kekayaan Toraja, bukan hanya unik yang Sitsul lihat tapi juga mahal. 

“Ini berapa?” tanya Sitsul sembari menyentuh miniatur rumah tongkonan. 

“4,5 juta,” kata si perajin dengan santai, padahal Sitsul sampai tercekat mendengar harganya.

“Mahal, ya, Pak”

“Sesuai dengan hasilnya, dong.” Sitsul menoleh dan mendapati Ule juga Ardan di sampingnya. 

“Iya, sih... Tapi tetap aja mahal. “

“Elo mau?”

Sitsul menggeleng, “Mau. Tapi gak mungkin aku beli dengan harga segitu.”

“Kenapa enggak? Pak saya beli yang miniatur yang itu ya.” Ule menunjuk pada miniatur yang sebelumnya di pegang oleh Sitsul. 

Setelah bertransaksi, Ule menyerahkan minatur itu ke tangan Sitsul. Awalnya Sitsul menolak, tetapi dengan bujukan Ardan, Sitsul menerima barang yang harganya tidak main-main. 

“Le, ini mahal banget loh.” Sitsul merasa tak enak hati menerima barang semahal ini, terlebih lagi dari cowok yang baru dikenalnya. 

“Terserah, sih. Kalo gak mau, ya, gak papa. Gue bisa kasih pengunjung yang lain,” pancing Ule yang sungguh membuat Sitsul bingung. Mau tapi gensi juga, baru kenal sudah di kasih barang yang harganya jutaan. 

“Ambil aja. Ule lagi gajian. Aku yang mau beliin tapi posisiku beda sama Ule,” bujuk Ardan.

Sitsul menyela perkataan Ardan dan merasa makin tak enak. “Eii... Kok ngomong gitu sih, Dan. Aku gak pengen dibeliin siapa-siapa, loh! ”  

“Benar kata Ardan, gue lagi gajian. Nah, kebiasaan gue kalau gajian pasti teraktir Ardan. Tadi gue udah konsul sama dia, maunya apa? Tapi dia gak mau apa-apa, katanya mau beliin miniatur itu aja buat elo.”

Duh. Sitsul jadi tersentuh. Ardan sungguh terheran-heran mendengar penuturan Ule. Ardan jadi berpikir, ini adalah jawaban Ule untuk menjadi perantara hubungannya dengan Sitsul, semoga. Ule memang tak tertebak. 

Dengan senang, Sitsul menerima pemberian Ule. “Makasih banget, Le, Dan.”

“Sama Pak Bos, aja. Gak harus sama aku,” kata Ardan. 

Sitsul hanya tersenyum menampilkan lesung pipitnya yang cantik. Bukan hanya Ule, tapi juga Sitsul menyadari perubahan kata Aku-Kamu yang diucapkan Ardan. 

Sebelum melangkah lebih dalam menjelajahi Kete’Kesu, Ule memotret dirinya, Ardan juga Sitsul dan dengan miniatur rumah tongkonan yang ia beli tadi. Bukanya membuang-buang uang, memang sejak kecil Ule telah di tuntut oleh kedua orangtuanya untuk tidak perhitungan terhadap orang lain, sebab rezeki akan selalu bertambah jika kebaikan mengalir dengan ikhlas juga tanpa perhitungan. 

Tidak hanya Sitsul yang membawa miniatur rumah tongkonan, Ardan juga membeli hiasan dinding khas Toraja, sedangkan Ule membeli sarung dengan batik khas Toraja yang harganya jauh lebih mahal di bandingkan miniatur tadi, selera Ule memang beda dan tentunya juga mahal. 

“Elo mau kasih siapa, tuh, sarung?”

“Bokap gue lah, siapa lagi? Asal lo tahu, Dan, Papa paling suka pakai sarung dibandingkan selimut.”

“Kok gue baru tahu.”

Lihat selengkapnya