Tongko Sarapung, Sangalla, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan
BABY GRAVE, Kambira
Pemandu wisata baru saja menjelaskan bagaimana bisa pohon ini digunakan untuk mengubur jenazah bayi.
Ule juga Sitsul mendengarkan dengan baik, sedangkan Ardan berdiri di belakang Ule. Ardan takut, ia menyesal telah menyarankan tempat ini. Iseng mengusulkan Baby Grave, dan setelah mendengar sejarahnya dari pemandu wisata nyali Ardan menciut. Itu kenapa tadi dia tidak ikut Ule naik keatas tebing sewaktu di Kete’Kesu sebab Ardan tahu ada banyak tengkorak dan tulang belulang.
Ule menginjak kaki Ardan, “Le!” desis Ardan.
“Elo, tuh, malu-maluin tau gak!”
“Gue takut, Le. Asli!”
“Gak usah takut, Ardan. Ini hanya sejarah. Lagian kita tidak tinggal disini jadi kita berusaha untuk biasa aja dan tetap menghormati budaya leluhur Toraja...,” tutur Sitsul lembut. Kelembutan itulah yang membuat Ardan perlahan-lahan menguji keberaniannya untuk menampakkan dirinya yang sejak tadi berkelana di balik punggung Ule, dan itu sangatlah memalukan.
“Pak, apakah semua pohon disini semua dijadikan tempat penguburan bayi?” tanya Ule panasaran.
“Pertanyaan yang tepat,” kata si pemandu wisata.
“Jadi begini, Mas. Tidak semua pohon disini dapat atau bisa dijadikan tempat penguburan jenazah bayi dan itupun ada ketentuan dari umur kelahiran si bayi, Mas, Mbak. Salah satu diantara banyak pohon, satu-satunya yang bisa atau boleh dijadikan sebagai tempat penguburan adalah Pohon Tarra.”
Ule menuliskan setiap sejarah itu dalam memorinya. Ia ingin sekali memperkenalkan Toraja sebagai Kabupaten terkaya, teresksotis, terunik dan terkeren. Meski Toraja telah banyak dikenal oleh Mancanegara, tetapi tidak bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Dan Ule ingin pulang dan menceritakan segala sejarah bahwa Toraja wajib didatangngi.
Dua hari di Toraja sedikit bahkan hampir menyempurnakan setiap penyembuhan luka hati Sitsul. Toraja yang eksotis mampu membuatnya selalu tersenyum, juga pertemanannya dengan kedua pemuda Jakarta yang cukup menghibur jika keduanya berdebat. Dan salah satu diantaranya selalu mampu membuat Sitsul terbawa perasaan, meski itu baru yang ketiga kalinya.
Ardan sudah menghitung jari yang keberapa kali Sitsul menampilkan senyuman indahnya juga kesempurnaan lesung pipitnya. Seandainya saja ia punya keberanian, ia ingin segera menyatakan perasaannya. Tetapi ia seolah polos dan bingung memulai dari mana.
Ketiganya kembali fokus saat pemandu wisata menunjuk salah satu pohon, dan itulah pohon Tarra.
“Kenapa pohon ini dianggap paling terbaik, Pak?” Giliran Sitsul yang sangat penasaran, banyak pohon dan kenapa hanya pohon Tarra yang boleh menjadi tempat penguburan.
Pemandu wisata mengangguk mendengar pertanyaan Sitsul. “Kerena hanya pohon Tarra satu-satunya yang memiliki banyak getah dan dapat berdiri tegak. Yang panjangnya mencapai 100-300 CM. Lalu batangnya yang lebar dan kokoh dan masyarakat Toraja mempercayai bahwa pohon Tarra seperti Ibu yang memeluk anak-anaknya yang sudah meninggal.”
Ule, Sitsul juga Ardan sangat berkesan dan kagum akan sejarah Baby Grave. Ternyata dibalik sejarahnya ada makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Toraja. Rasanya, Ule semakin jatuh cinta pada Toraja, Sitsul yang merasa menyesal baru berkesempatan kesini dan Ardan yang merasa rugi telah ketakutan.
Ule kemudian membidik tepat pohon Tarra. Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali Ule menjepret objek agar mendapatkan hasil yang sempurna.