Ini yang ke tujuh kalinya Ardan membujuk Ule untuk tetap ikut bersama Sitsul menyaksikan tradisi Manene. Namun ke tujuh kali itu pun Ule menolak. Bahkan ia ingin pulang segera jika Ardan memaksanya untuk yang ke delapan kali. Ardan sendiri tak bisa berbuat apa-apa, ia mengerti posisi Ule. Dan di sisi lain, Ardan merasa tak enak jika membatalkannya.
“Lo masih sayang Resi...?” tanya Ardan hati-hati.
Ule memutar bola matanya, “Kalau masih sayang kenapa? Kalau udah enggak sayang kenapa!?”
Ardan selalu kekurangan dan kehabisan kata jika berhadapan dengan Ule, padahal niatnya baik untuk menanyakan hal yang menjadi masalah besarnya selama setahun terakhir. Ardan bingung mau membantu dengan cara apa agar Ule benar-benar melupakan Resi.
Bagaimana gue bisa bantu, Le. Elo aja enggan terbuka, padahal kita sahabatan udah lama banget!
“Gue nanya serius, Le.” Ardan menyorot ke Ule.
“Gue juga jawab serius, Dan. Lagian gak ada juga hubungannya sama lo. Jadi, please enggak usah ikut campur masalah gue. Biar gue sendiri yang cari tahu gimana endingnya nanti!” tegas Ule membalas tatapan tajam Ardan.
“Kita ini sahabatan Le—
“Kali ini gue enggak mau dibantu siapa-siapa, Dan! Sekalipun itu sahabat gue!” tandas Ule yang matanya mulai memerah.
“Terserah, Le. Sepertinya lo udah gak menganggap lagi persahabatan ini semenjak—“ Ardan menggantungkan kalimatnya.
“Semenjak apa!?” hardik Ule.
“Sejak elo kenal Resi...!” teriak Ardan keras. Selama ini ia diam. Tapi tidak untuk sekarang, selama ini Ardan selalu menuruti apa yang Ule mau, sekalipun ia harus berkorban. Namun kenapa Ule tak pernah mau terbuka dan menerima saran darinya.
Bruk...
Ardan tersungkur ke lantai.
“Berengsek!” desis Ule, “jangan pernah sekali-kali elo membawa nama dia dalam persahabatan ini. Enggak ada kaitannya sama sekali. Ingat, JANGAN PERNAH ELO MEMBAWA NAMA DIA DALAM PERSAHABATAN INI!” tekan Ule.
Tanpa menolong Ardan, Ule berjalan cepat keluar kamar hotel dengan membanting pintu. Hingga salah satu penghuni kamar pun kaget dan takut melihat Ule yang keluar dengan kemarahan.
“Mungkin lagi marahan sama pacarnya,” kata Ibu-ibu yang melihat kejadian.
“Pacar? Mereka berdua di dalam dan satunya lelaki juga, Bu.”
“Jangan-jangan—“
Mereka berdua berhenti berbicara saat Ule menatap tajam kearahnya.
Ardan bangkit dan menyentuh perutnya yang ditendang Ule barusan. Untung saja tidak sampai masuk rumah sakit lagi. Terpancar rasa kecewa di mata Ardan. Ule yang sekarang bukanlah sosok sahabatnya yang dulu. Ule masih terobsesi akan masa lalunya, dan itu sangatlah berefek besar dalam dirinya. Ule bahkan tak lagi mengenal dirinya.
Ardan mengetik pesan untuk Sitsul. Ia berniat membatalkan janjinya semalam.
“Kok di batalin?” Ule tiba-tiba datang dan merebut ponsel Ardan.
“Lo udah stabil rupanya.”
“CK. Gue waras!”
“Hehehe...ayo berangkat kalau lo masih waras.”
Ule menatap Ardan marah, namun sorot kemarahan itulah yang Ardan tangkap bahwa Ule ingin persahabatannya baik-baik saja, meski di sini ia selalu mendapatkan tendangan super dari sahabatnya itu.
...
Patane, Desa Lembang Paton, Kecamatan Pariale Tana Toraja, Sulawesi Selatan
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, Ule juga Ardan telah tiba di lokasi yang dibagikan Sitsul tadi. Di sini bukan orang sedikit, di sini bukan mayoritas nasrani saja dan di sini bukan masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat mancanegara pun ikut meramaikan acara ini.
“Wow, Toraja emang luar biasa...” Ardan memandang sekelilingnya dengan kagum. “Gue hampir nyesel, Le.”
“Biasa aja tuh.” Ule berbohong. Jelas ia sungguh menyesal, seandainya ia menuruti egonya untuk tidak ikut bersama Ardan. Hatinya sudah ia mantapkan jika sewaktu-waktu bertemu Resi.