Saat akan hendak pulang, tiba-tiba saja Ardan mengeluh kebelet pipis. Dengan kekuatan super, Ardan menghilang dari pandangan Ule.
“Kasihan, gak bisa nahan lagi dia.” Sitsul terkekeh melihat cowok itu dari kejauhan.
Kini tinggal Ule dan Sitsul. Entah kenapa rasanya secanggung ini. Ule memilih diam, behitupun juga dengan Sitsul. Hingga seekor ulat bulu yang sangat kecil hinggap di jemari kanan Sitsul dan membuatnya berteriak histeris, sampai tak sadar memeluk lengan Ule.
Ule dengan jemari tangan kirinya menyentil ulat kecil itu hingga menghilang entah kemana. “Takut, ya?” tanya Ule basa-basi. Padahal sebenarnya ia sangat ingin tertawa. Memang pada dasarnya cewek selalu takut akan hal kecil bagi cowok.
Sadar akan lengannya yang dipeluk Sitsul mengingatkan Ule saat Resi juga melakukan hal yang sama.
“Sit, cewek emang gitu, ya? Kalau takut misalnya, harus banget, ya, meluk lengan cowok.”
Bagai tersindir, Sitsul dengan cepat melepaskan tangan Ule dan sedikit memberi jarak. “Sorry, Le. Tadi itu refleks...heee...!” Sitsul jadi malu.
Ule tertawa lepas hingga menampilkan senyum terbaiknya yang sangat jarang ia pamerkan kecuali ke orang-orang pilihan. Sitsul jadi terpaku sesaat, ternyata Ule bisa setampan berkali-kali lipat jika tersenyum ikhlas.
“Kenapa?” tanya Ule masih di selingi tawa yang mulai reda.
“Gak apa-apa.” Sitsul terciduk menatap Ule kagum.
“Tadi gue bercanda kok, Sit. Gue paham cewek kayak lo bukan cewek modus tapi emang lo ketakutan banget tadi.” Ule meluruskan maksudnya agar Sitsul tak salah paham.
“Iya, aku paham,” balas Sitsul.
Sitsul merasakan getaran hebat saat kembali merekam ulang tawa lepas Ule. Dan ada apa dengan jantungnya, yang biasanya berdetak normal kini jauh lebih cepat dari sebelumnya.
...
Samar-samar ia mendengar suara seseorang yang sangat ia kenal. Entah dirinya halusinasi atau tidak. Ia kemudian memandangngi sekelilingnya berharap dengan harapan seseorang yang ia harapkan. Setidaknya ia lihat meski dalam jarak kejauhan.