“Kamu...kamu kenal Resi.”
Pertanyaan yang sudah Ardan tebak. Dan akhirnya ia tidak perlu menceritakan siapa Resi tetapi ia akan menceritakan siapa Resi di hati Ule.
Ule mengangguk, “Setahun yang lalu.”
Sitsul semakin penasaran. Siapa Resi bagi Ule.
“Jadi waktu kamu jemput aku, kamu sudah tahu.” Ardan kembali mengiyakan.
“Aku bisa jelasin dari awal, kalau kamu memang mau tahu kejelasan seperti apa yang kamu lihat tadi. Dan itupun jika penting untuk kamu ketahui?”
“Mungkin, iya.”
Ardan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sepertinya ia butuh tenaga untuk menceritakan kisah Ule pada Sitsul.
“Ule...Ule mantan Resi, Sit...!” terang Ardan, “Dulu sebelum mereka putus, aku orang yang paling bahagia melihat mereka berdua bersama. Namun kebahagiaannya tidak bertahan lama. Cinta beda agama, aku pikir you know-lah. Kamu tahu Sit? Ule banyak yang ngincer, tapi hanya Resi yang mampu membuatnya jatuh, sejatuh-jatuhnya. Padahal Resi enggak ngelakuin hal apapun untuk menarik perhatian Ule. Dan mungkin terlalu panjang juga kalau aku cerita sedetailnya. Dan aku emang gak perlu juga ceritain kebahagiaan mereka di setiap detiknya. Intinya, seorang Resi memiliki tempat yang sangat spesial di hati Ule. Bahkan sampai sekarang, mungkin,” papar Ardan.
“Resi gak pernah cerita?” tanya Ardan.
“Gak pernah. Aku kenal Resi baru dua minggu yang lalu. Jika bukan Oma yang kenalin aku ke Resi, mungkin selamanya aku gak tahu kalau Resi bagian dari keluargaku. Meski sepupu jauh. Dan, yah... Aku gak tahu banyak tentang dia...” ungkap Sitsul.
“Oh, ya?”
Sitsul mengangguk, “Iya. Aku sampai—“
“Sampai kenapa?” tanya Ardan heran.
Sitsul diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Ardan. Ia juga bingung akan perasaannya.
Perlahan Ardan meraih tangan Sitsul dah membawanya dalam genggaman. Hangat.
“Sit,” panggil Ardan lirih. Sitsul pun mendongak dan membalas tatapan mata Ardan. Sitsul dapat melihat setinggi apa hidung Ardan. “K—amu...suka Ule?” Sekuat tenaga Ardan menahan agar kalimat sakral ini tidak terlontar. Ardan takut jika pertanyaan itu mendapatkan jawaban yang sesuai.
Sitsul menghela napas. “Gak, Dan.”
“Kamu protes gak? Kalau aku bilang kamu bohong!”
Sitsul memalingkan wajahnya. “Aku anaknya mencintai kejujuran, Sit. Jadi aku tahu kalau seseorang berbohong, apalagi soal hati,” sahut Ardan.
Sitsul melepaskan genggaman tangan Ardan. Dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku harus jawab apa.”
Melihat matanya basah, Ardan dengan sigap membawa Sitsul dalam pelukannya. Ia mengerti apa yang Sitsul rasakan. Ardan ikut memejamkan mata saat suara serak Sitsul menamparnya hanya dengan kalimat singkat yang mampu membuatnya melupa akan arti menunggu waktu. “Aku suka dia, Ardan.”
Ardan semakin mengeratkan pelukannya pada Sitsul. Hatinya sungguh terluka dalam. Ketika dia yang kau cinta, mencintai yang lain. Sepenggal lirik yang sangat mewakili perasaan Ardan saat ini.
Tidak ingin bertanya dan menambah beban Sitsul. Ardan berusaha untuk tegar, meski hatinya saat ini benar-benar hancur.
“Aku anterin kamu pulang, ya.” Ardan beranjak.
Le! Tungguin, gue! Guman Ardan.
...
“Sulaiman Adiyeksa Wiajaya!” teriak Ardan saat masuk ke kamar hotel dan mendapati Ule yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Bugh...
Ule mengesap darah segar di sudut bibirnya. Ule bahkan tak siap dengan pukulan super Ardan.
“Kenapa loh!”
“Kenapa! Lo marah gue pukulin?” tanya Ardan sinis.
“Lo kenapa, sih, Dan. Aneh!” decak Ule berusaha menggapai pintu lemari baju. Namun sebelum tangannya meraih gagang pintu, ia kembali mendapatkan serangan di bagian perutnya.
Handuk yang melilit tubuhnya hampir saja melarat ke bawah jika Ule tak cepat menahan lilitannya. Kembali Ardan menyerang hingga Ule benar-benar tersungkur ke lantai.
“Aww... Lo gila, Dan...” rintih Ule.
“Lo yang gila, bangsat!” umpat Ardan. Ule memicinkan matanya . Ia sungguh nyata melihat kemarahan Ardan, dan ini untuk yang pertama kalinya.