Angin yang sejuk mengawali hari yang cerah ini mengantarkan dandelion mengarungi celah rongga-rongga rimbunan pohon di pegunungan. Burung-burung yang berenang bahagia di langit biru selayaknya laut, mengatasi kecemburuan akan ikan-ikan yang dapat merasakan keindahan dalam laut yang belum sepenuhnya terjamah oleh manusia. Meskipun awan putih berubah menjadi kelabu di hari yang cerah ini, yakin hujan akan membawa senyum untuk hari berikutnya.
Sesaat setelah pintu kabin tertutup, Reim dan teman kerja lainnya berjalan memasuki lorong pesawat. Di bagian depan barisan kursi yang terlihat mewah, dengan meja yang sudah terisi dengan beberapa hidangan lezat dilengkapi dengan botol wine, terlihat Sherrill sudah duduk sambil menyilangkan kakinya di depan meja tersebut. Ia memegang gelas berisi wine di tangan kirinya, bersama beberapa jajaran penting di perusahaan, termasuk CEO yang tidak lain ayah dari Sherrill. Sherrill yang berdarah campuran Korea-Indonesia ini dulunya tinggal di Korea bersama ibunya sampai selesai kuliah. Sebagai seorang wanita yang feminis, bentuk tubuhnya terlihat fit dan ideal dengan kemeja satin putih yang saat ini membalut tubuhnya. Bentuk badan dengan otot khas wanita yang membalut tangan, kaki dan seluruh tubuhnya terlihat pas di mata Reim. Hal itu tidak mengherankan mengingat semasa kuliah yang dihabiskannya di Korea, dia juga adalah seorang atlit anggar kebanggaan negeri ginseng yang menjadi peringkat atas dunia kejuaraan anggar saat itu. Sayangnya ketika dia sedang berada di puncak karirnya, ibunya meninggal dunia. Semua itu menjadi pukulan telak untuknya sehingga menyebabkan dia harus mengakhiri karirnya sebagai atlit anggar dan memilih untuk merubah kewarganegaraan yang awalnya Korea menjadi Indonesia. Lalu, ia pun pindah ke Indonesia untuk membantu perusahaan ayahnya. Perusahaannya sendiri bergerak di bidang digital asset market, perusahaan yang dibangun oleh ayahnya ini sudah bertahan selama kurang lebih 30 tahun. Namun di tengah kesibukannya bekerja, dia masih menjalani anggar meskipun hanya sebagai hobi.
“Kalian semua nanti bebas memilih tempat duduk yang menurut kalian nyaman ya… except Mark, there’s something that we should discuss about last report,” ucap Sherrill sambil melihat ke arah para staff kantor yang berjalan masuk dan menunjuk ke bagian belakang kursi mereka. Reim melirik Sherrill saat sedang berjalan melewatinya, Sherrill yang melihat balik tatapan mata tersebut perlahan menarik pandangannya sambil kembali meminum wine yang ada di gelasnya.
“Sure Miss Sherrill,” sahut Mark sembari duduk di samping kursi Sherrill. Karena Mark adalah IT senior di perusahaan ini seringkali dia di ajak dalam rapat tertutup dengan jajaran tinggi di perusahaan.
Wahyu yang berjalan di depan Reim menoleh ke arahnya “woow… baru kali ini naik jet pribadi, keren parah dooong hehehe,” sambil cengengesan dia bertanya, “kamu mau duduk di mana Reim?”
“Hmm, di mana juga sama saja… tapi sepertinya aku akan duduk di kursi belakang.”
Indra yang berjalan di belakang Reim saat itu berkata, “bareng ya Reim, biar ada teman ngobrol.”
“Yahhh, ya sudah… aku bareng sama Karina kalo gitu… gimana Karina?” Tanya Wahyu pada Karina sambil mengetuk pundak Karina yang berjalan di depannya.
“Aduhhh kok aku sama kamu sih, iyaa iyaa tapi males ah… nanti dijailin terus,” gerutu Karina sembari membalikkan tas punggungnya ke depan lalu mengangkat serta mencoba memasukkannya ke bagasi kabin, namun karena kesulitan ia pun sedikit berjinjit.
“Ahahaha janji deh aku nggak bakal rese,” sambil tertawa Wahyu membantu Karina memasukkan tasnya. “Makanya jadi cewek jangan terlalu pendek, masukin tas saja kesulitan kan jadinya ahahaha.”
“Bodoooo amaat!” Ketus Karina sembari duduk di kursi sebelah kiri samping jendela.
Reim dan Indra kemudian duduk di belakang mereka berdua, Reim mengambil posisi samping jendela tepat di belakang Karina. Staff lain pun sudah memenuhi kursi-kursi di depan dan seberang mereka. Di belakang kursi Reim dan Indra ada Michele juga Roland, “Dra… terima kasih ya kemarin pagi sudah memberi tahu kami, kalau ternyata hari ini akan berangkat ke Florida, jadinya kami ada waktu untuk menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan,” kata Michele yang sedikit bangun dari kursinya, sambil memegang kursi Indra dari belakang.
Melihat itu Roland menurunkan tangan Michele dengan muka masam dan memberi isyarat agar Michele segera duduk rapih di kursinya. Dia lalu berkata pada Indra, “iya Indra, terima kasih ya…” Roland termasuk lelaki yang sangat pencemburu meskipun Michele hanya mengajak bicara temannya sendiri, akan tetapi Roland ini setia dan selalu siap sedia menjaga Michele di manapun berada. Mereka sudah pacaran dari SMA, saat itu Roland sedang mengikuti pertandingan baseball di sekolah, ketika Roland memenangkan pertandingan tersebut dia pun menyatakan perasaannya pada Michele di depan banyak orang. Michele sendiri sebenarnya pribadi yang bertolak belakang dengan Roland, dia bukanlah perempuan pencemburu karena dia tipikal yang easy going, ceria dan memiliki banyak teman laki-laki. Dia jatuh hati pada Roland saat Roland menyatakan perasaannya tersebut di depan banyak orang, sampai setelah bekerja pun mereka tetap saling setia.
“Halah santai saja… lagian Reim yang minta aku ingetin kalian kok, dia takut kalian melewatkan kesempatan ini karena cuti kemarin,” sahut Indra.
“Ohh, makasih loh Reim,” kata Roland sambil menawarkan snack yang dia sudah keluarkan dari dalam tasnya, “nih mau snack? Lumayan buat ngemil.”
“Ahh, iya… sama-sama,” sambil tersenyum mengisyaratkan tidak dengan tangan kanannya, lalu Reim pun kembali duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi.
Beberapa saat kemudian, suara mesin pesawat mulai terdengar nyaring. Perlahan pesawat mulai bergerak untuk tinggal landas, semua penumpang pesawat tersebut sudah terlihat memasangkan sabuk pengamannya. Reim melihat keluar jendela memperhatikan pesawat yang mulai terbang menjauh dari landasan, terlihat bandara Ngurah Rai yang semakin lama semakin mengecil. Bangunan-bangunan di Bali pun mulai terlihat seperti miniatur yang dihiasi mobil-mobilan sepanjang jalan. Terbesit di pikirannya jika semua yang dimiliki manusia seperti rumah megah, mobil mewah ataupun hal lainnya yang terlihat besar dari depan mata… tidak ada artinya lagi jika dilihat dari atas langit. Semua hal itu tidak akan abadi, lama kelamaan akan menghilang sama halnya seperti manusia itu sendiri kecuali jiwanya… tak ada artinya menyombongkan hal berbau duniawi.
Awan yang tadinya berada di atas langit sekarang sudah sejajar dengan pesawat tersebut, Reim memakai earphone-nya dan memejamkan mata sambil mendengarkan lagu dari handphone, berharap akan tertidur untuk mempersingkat waktu sampai pada tempat tujuan.
<~~~>
“Reim, oi Reim… jangan tidur mulu sih,” Indra menggoyangkan bahu Reim. “Kamu lihat nggak berita yang lagi heboh baru-baru ini di media sosial?”
“Hum? Soal apa memang?” Sahut Reim sambil membuka sedikit matanya yang tadi sedang terpejam.
“Itu loh… di The Giant Causeaway pegunungan di Irlandia utara katanya ada pemanjat gunung yang melihat penampakan makhluk tinggi besar berwarna hijau, dia bilang makhluk itu taring bawahnya menyembul ke atas… seram nggak sih?”
“Ah paling juga seperti penampakan yeti yang dibuat-buat, jangan terlalu dipercaya.” Kata Reim.
“Ini ada foto buktinya kok dan nggak seperti editan, lagian mungkin saja ada kaitannya sama nama gunung itu, kan menurut legenda gunung itu dibuat oleh raksasa,” Indra mencoba berargumen.
“Ah kamu ini, jangan mudah percaya sama hal begitu. Kalaupun bukan editan, mungkin itu orang iseng yang pakai kostum… sengaja buat cari sensasi biar ada kaitannya sama cerita asal-usul gunung itu,” Reim kembali membalas argumen tersebut.
“Tapi sepertinya beneran deh kak, soalnya… beritanya serius gitu, sampai para youtuber bahas soal konspirasinya,” kata Karina berusaha memasuki percakapan, sambil berbalik badan melihat mereka berdua.
Indra mulai bersemangat dengan hal yang disampaikannya tersebut, “nah iya, itu yang aku maksud, gak mungkin ada orang sampai tertarik bahas konspirasinya kalo hal ini tidak serius. Kabarnya sudah ada korban di pegunungan itu, tapi dari hasil otopsi luka-lukanya bukan disebabkan oleh hewan liar.”
“Ahaha…. ngaco, jangan termakan konspirasi… segala hal disangkut-pautkan sama berita yang belum tentu kebenarannya… sudah ah... aku mau tidur lagi,” Reim pun berusaha mengakhiri topik yang menurutnya kurang penting tersebut.
Karina dan Indra melanjutkan percakapan mereka, sementara Reim berusaha kembali untuk tidur. Saat dia memejamkan mata, perlahan mulai terlihat seperti kunang-kunang yang beterbangan, suara percakapan teman-temannya pun lama-kelamaan mulai terdengar sayup. Dia mencoba mengikuti pergerakan kunang-kunang itu dalam kegelapan dan akhirnya beberapa menit kemudian, dia mulai memasuki alam mimpi.
Reim melihat sekelilingnya berwana-warni, terlihat banyak tumbuhan yang asing di matanya, ada bunga yang berbentuk oval berwarna jingga namun dedaunannya melingkar mengelilingi tangkai bunga tersebut dan berwarna merah muda. Ada juga beberapa pohon yang tidak terlihat normal dibandingkan pohon lain di sekitarnya, dengan dedaunan berwarna putih kebiruan namun posisinya di bawah dan akarnya menjulang ke atas. Reim posisinya saat itu sedang duduk di rerumputan sambil menjulurkan kakinya dengan tangan yang menopang tubuhnya. Pada telapak tangannya, dia merasakan rumput-rumput yang berwarna kuning kemerahan tersebut sangatlah halus seperti kapas. Aroma tempat dia berdiam, terasa sangat wangi dan nyaman. Suara sungai di dekatnya pun membuat hati terasa tenteram. Di samping Reim ada seorang wanita yang menemaninya, sedang duduk menatap langit di malam hari yang berwarna ungu kegelapan. Langit tersebut dihiasi bintang-bintang, terlihat di antaranya ada 2 bulan yang terpasang di langit itu. Wanita berambut panjang perak berkilau itu kemudian perlahan menatap dan tersenyum ke arah Reim, terlihat paras yang sangat cantik dengan bola mata yang berwarna sapphire.
Ketika wanita itu mulai menggerakkan bibirnya untuk berkata sesuatu, Reim pun terbangun karena Indra mengguncangkan tubuhnya, “Reim, bangun…! Di belakang ada smoking room, temenin yuk… bosan kalau sendirian.”
“Ish… ganggu tidur orang saja,” sambil menggerutu Reim pun membuka seat belt dan menanggalkan earphone yang terpasang di telinga. Dia pun berdiri sambil merogoh kantong celananya untuk mengambil sebungkus rokok.
Mereka berdua bergegas ke arah smoking room tersebut. Setelah sampai di dalam ruangan tersebut, mereka kemudian menyalakan rokok sambil duduk tenang di kursi tinggi. Setelah satu hisapan dan melepaskan asap dari mulut, Reim mulai membuka pembicaraan, “jam berapa kira-kira kita sampai ya? Sudah mulai pegal nih, duduk terus…”