ONISM

Ryan Andriansyah
Chapter #3

Chapter 2 - Cruel Sonne

Kak Reim! Kak Reim!! Ayo sadar!”

Mendengar suara panggilan, Reim yang tadinya tidak sadarkan diri perlahan mulai membuka matanya. Terlintas benaknya jika apa yang dialami sebelumnya hanyalah mimpi belaka. Namun, ternyata semua hanyalah harapan kosong belaka. Ketika dia memegang dahinya, dia sadar sudah ada perban melingkar di kepalanya. Di hadapannya kini terlihat Karina yang sedikit terluka pada bagian wajahnya, sedang duduk bersimpuh sambil memegangi lengannya dengan gemetar. Begitu melihat Reim yang sudah tersadar, dia pun langsung memeluknya sambil menangis bahagia, “huaaaa! Kaaak, a… ku… aku… aku senang banget kakak udah sadar, aku pikir kakak...”

“Karina? Kamu… syukurlah kamu selamat,” sambil berusaha bangun dari posisinya yang terbaring di rerumputan. Reim kemudian meletakkan lengannya di kepala Karina sambil tersenyum. Bagi Reim, Karina sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Dia pun bertanya, “Indra di mana? Siapa saja yang selamat?” Tanya Reim sambil sedikit meringis menahan rasa sakit di tulang rusuknya.

“Kak… cuma kakak, kak Indra, kak Wahyu, mba pramugari sama kak Michele yang selamat,” kata Karina sambil mengusap air matanya.

“Di mana mereka sekarang?” Tanya Reim sambil melihat ke sekitar, yang terlihat olehnya hanyalah koper-koper yang berserakan dan sudah terbuka.

“Umm, kak Wahyu lagi mengobati kaki kak Michele yang terluka, mereka ada di dekat puing pesawat. Kalau mba pramugari… dia lagi di dalam puing pesawat sama kak Indra, mereka sedang mencari barang-barang yang kemungkinan berguna nantinya,” jawab Karina.

“Eh, tunggu… Kalau Michele ada, terus Roland di mana? Apa jangan-jangan…” sambung Reim.

Sambil sedikit menganggukan kepala lalu tertunduk dia menjawab, “iya kak… kak Roland sepertinya nggak selamat...”

Reim hanya terdiam mendengar jawaban Karina, dia lalu berdiri sambil melihat ke arah sisa pesawat dari kejauhan. Terpikir olehnya, bagaimana mungkin mereka semua bisa selamat dengan keadaan pesawat yang hanya tinggal bagian belakang. Parahnya sebagian dari sisa pesawat tersebut sudah gosong dilahap api. Terlihat pula puing-puing yang berserakan di sekitarnya. Dia kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan mendekati sisa persawat tersebut. Saat berjalan Reim masih penasaran tentang keberadaan mereka saat ini, dia kemudian terpikir untuk mengeceknya pada aplikasi peta di handphone-nya. Dia pun merogoh saku celananya dan mengambil telepon genggamnya tersebut. Ketika dia lihat, ternyata handphone-nya sendiri sudah mati. Padahal seingat dia, baterainya masih 90% saat masih berada di pesawat. Karena penasaran dia juga melihat jam tangannya, namun, “kok bisa?! Berapa lama aku tidak sadarkan diri…? Aneh… jam tangan ku juga kenapa bisa mati?”

Dari kejauhan Wahyu terlihat sedang duduk berjongkok di hadapan Michele sambil memegangi kakinya. Ketika dia melihat ke arah Reim, dia segera melambaikan tangannya, “Reim sini!” Panggilnya.

Saat Reim sudah berada di hadapannya Wahyu pun segera berdiri dan memeluknya, “syukurlah bro kamu selamat.”

“Ya, syukurlah kamu juga Yu…” balas Reim. Dia kemudian bertanya, “apakah lukanya parah?”

Wahyu kembali berjongkok dan memijat kaki Michele, “mmm sepertinya… kakinya hanya terkilir dan terkena luka gores, aku cuma bersihkan luka dia saja sambil sedikit memberi pijatan,” ungkap Wahyu.

Reim lalu melihat Michele yang sedang meringis menahan sakit, entah karena kakinya yang terluka atau karena kehilangan Roland. Dia mendekati lalu berjongkok dengan meletakkan lutut kirinya ke tanah untuk menopang tubuhnya.

“Michele… umm…” ia mencoba memulai percakapan, namun ucapan Reim terhenti, karena sedikit berhati-hati dalam memilih kata.

Michele mengangkat wajahnya, terlihat mata yang sembab dan muka kemerahan, “Reim… Roland… uh…” tak kuasa untuk melanjutkan kalimat yang akan dilontarkan, dia pun mulai menangis kembali.

Reim hanya tertegun sedih melihatnya, dia lalu meletakkan tangan kanannya di pundak Michele tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Sudah beres, coba kamu berdiri dan gerakkan kakinya perlahan,” kata Wahyu sambil merapihkan kotak obat yang selesai digunakannya.

“Biar aku bantu,” ucap Reim sambil mengangkat lengan kiri Michele kepundaknya. Dia pun bangun sambil menopang tubuh Michele.

“Aw… uh… ouch…” terlihat Michele memaksakan kakinya berjalan.

“Masih kerasa sakit ya? Tidak usah dipaksakan, pelan-pelan saja jalannya,” kata Reim sambil membantu Michele berjalan ke arah Karina yang sedang duduk memilah-milih isi tas ranselnya.

“Mhm, masih… umm… Reim…” ucap Michele.

“Ya…?” Reim melirik dengan penasaran pada Michele.

“Waktu itu Roland gak pakai seat belt-nya, aku yang suruh dia lepas… karena dia kekenyangan setelah makan. Sewaktu pesawat mulai oleng dan ada guncangan yang sangat keras, aku lihat dia terlempar ke depan kabin… Reim… apa mungkin Roland masih hidup? Semua ini salah aku, aku yang menyebabkan dia terlempar.”

Mendengar itu Reim terdiam beberapa saat untuk berpikir, lalu dia menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arah puing pesawat itu, “hmm… kalau lihat bagian depan pesawat yang udah hilang sih mungkin aja sekarang Roland ada di bagian depan pesawat itu, sebaiknya kita harus berpikir positif kalau mereka yang ada di bagian depan pesawat masih hidup di luar sana. Lagipula ini bukan salah kamu, jangan pernah menyalahkan diri kamu sendiri, semua ini terjadi karena sudah takdirnya, dia bisa saja tidak menuruti ucapan kamu tapi dia tetap buka seat belt nya sendiri kan.”

“Iya Reim tapi tetap saja aku merasa bersalah banget… kehilangan Ronald secepat ini seperti mimpi, bahkan kita yang berada di tempat aneh ini saja berasa sedang bermimpi,” tanggap Michele.

“Kalau begitu nanti setelah kita semua istirahat, aku coba cari petunjuk ke mana bagian depan pesawat itu terpelanting dan kita melakukan pencarian ke sekitar daerah itu… siapa tahu masih ada yang hidup… terutama Roland, pastinya dia juga akan mencari kita jika dia selamat,” ucap Reim meyakinkan Michele.

“Makasih ya Reim, setidaknya kata-kata kamu sudah memberi aku sedikit harapan dan semangat,” kata Michele dengan muka yang masih terlihat sedih namun berusaha tersenyum.

 “Be strong Michele…!”

“Mhm,” sambil sedikit menganggukan kepala.

Mereka berdua pun kembali berjalan ke arah Karina. Setelah cukup dekat, Karina berdiri dan segera menghampiri mereka berdua sambil membantu Reim memapah Michele dan membantunya duduk.

“Aku akan menemui Indra di sana, kalian istirahat dulu saja…” ucap Reim pada mereka berdua, seraya meninggalkan mereka.

Reim lalu berjalan kembali ke arah bangkai pesawat yang melewati Wahyu, “Yu, selesai beresin kotak obatnya, nanti tolong temenin mereka berdua ya,” kata Reim.

“Iya Reim, kamu mau ke mana?” Tanya Wahyu penasaran.

“Aku mau bantu Indra dulu di sana, mungkin masih ada makanan atau peralatan penting yang bisa kita bawa nanti,” jawab Reim sambil menunjuk ke arah bangkai pesawat.

Dia pun mulai berjalan mendekati bangkai pesawat, di sana Indra sudah membawa beberapa tas ransel yang sudah terisi penuh dan pramugari yang bernama Fildza sedang mengangkat sebagian koper kecil yang berserakan di lantai kabin. Reim lalu menaiki bangkai pesawat tersebut sambil bertanya pada Indra, “Dra, ada yang bisa aku bantu?”

“Reim??” Indra pun langsung berjalan cepat ke arah Reim dan memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya, seakan bersyukur sahabatnya sudah sadar dari pingsannya, “hmm di dapur bagian belakang pesawat… dekat smoking room belum aku cek, karena sebagian ruangannya sudah menjadi hitam terbakar,” kata Indra sambil berjalan melewati Reim menepuk pundaknya lalu keluar dari sisa pesawat.

“Iya…” kata Reim sambil berjalan masuk di sisa lorong kabin yang sebagian atapnya sudah terbuka lebar. Dia kemudian berjalan menghampiri Fildza, “Mbak… sebaiknya kamu istirahat terlebih dahulu dan mengobati luka-lukamu. Biar saya saja yang mengumpulkan barang-barang.” Reim berkata seperti itu karena melihat raut yang kelelahan dari pramugari itu dengan sanggul yang sedikit berantakan.

“Eh… ah… tidak apa-apa pak biar saya saja,” kata pramugari tersebut yang terlihat linglung karena masih tidak percaya dengan apa yang ia alami, terlihat luka gores di wajah dan lengannya akibat pecahan kaca.

“Panggil Reim saja mbak, tidak perlu formal lagi… keadaannya sekarang kan sudah berbeda,” sambil membantunya mengangkat koper kecil serta tas yang berada di lantai kabin tersebut.

“Hmm, kalo gitu kamu panggil aku Fildza saja… jangan mbak, aku masih 26 tahun,” Fildza menjelaskan sambil tersenyum dengan mukanya yang pucat pasi pada Reim.

“Ah… aku lebih tua dua tahun berarti,” ucap Reim.

Reim kemudian melihat ke sisa bagasi kabin, terdapat sepatu kets wanita berwarna merah muda dan putih, lalu dia melihat ke arah kaki Fildza yang masih mengenakan high heels. Dia pun segera berjalan ke bagasi itu dan mengambil sepatu tersebut lalu memberikannya pada Fildza, “coba kamu pakai, cukup atau tidak…”

“Eh, itu kan punya orang lain, gak apa-apa Reim aku pakai high heels ini saja,” kata Fildza sambil menggoyangkan tangannya mengisyaratkan tidak.

Mendengar jawaban tersebut Reim lalu berkata, “maksud aku, agar kamu mudah berjalan, kita belum tahu terdampar di mana sekarang. Jalanan juga belum tahu apakah mudah dilalui atau tidak. Kamu akan kesulitan berjalan kalau pakai high heels,” jelas Reim.

Mendengar penjelasan Reim dia pun mengambil sepatu tersebut, “baiklah...”

Fildza pun segera melepaskan high heels nya dan memakai sepatu kets tersebut, “Oh... ternyata sepatunya pas.” Dia langsung membuka blazer pramugarinya dan hanya mengenakan blouse putih yang dua kancing atasnya dia lepas serta rok span, wanita cantik itu juga membuka sanggulnya lalu menguraikan rambut panjang hitam legamnya dan mengikat ekor kuda rambut bagian belakangnya, namun masih meninggalkan poni serta sisa rambut panjang di bagian sampingnya.

Reim hanya terdiam memandangi Fildza saat dia mengikat rambutnya, lalu Fildza pun sambil meliriknya berkata “kenapa melihatku seperti itu?”

Tersadar akan ucapan Fildza, Reim pun langsung mengalihkan pandangannya, “ah… tidak… um, kamu sudah cek di area dapur?”

“Aku belum cek, ini aku bawa turun dulu saja beberapa koper ini,” kata Fildza sambil memperhatikan gelagat Reim lalu ia pun berbalik badan dan berjalan keluar.

Reim lalu mengambil tas ransel yang masih utuh tidak terbakar yang berada di antara kursi penumpang. Ia lalu mengosongkan isi dalam tas, setelah itu ia pun bergegas ke area dapur, di mana kondisinya sudah tidak jelas lagi karena besi-besi yang berserakan dari puing pesawat. Di sana dia mulai membuka laci-laci yang sebagian besar sudah menjadi hitam dimakan api dan menemukan beberapa makanan kaleng dan botol air mineral yang masih utuh, sekiranya cukup untuk kelompok mereka bertahan hidup satu atau dua hari. Sebelum ia meninggalkan tempat itu, ia melihat ada laci di ujung ruangan yang belum dia cek. Lalu saat dia buka laci itu dia menemukan sebuah kotak berisikan 1 set peralatan masak dan dua buah pisau dapur, yang dari bagian mata pisau hingga gagangnya dilapisi baja. Tak pikir panjang dia langsung ambil pisau dapur baja itu, “yah, siapa tau berguna nanti,” ucapnya sambil memasukkan kedua pisau itu ke dalam saku jaketnya. Lalu ia pun segera bergegas keluar dari pesawat itu dengan membawa barang-barang yang sudah ia kumpulkan.

Setelah keluar dari sisa pesawat itu, dia melihat yang lainnya sudah berkumpul. Mereka terlihat sedang memilah-milih barang yang akan mereka bawa nantinya. Reim lalu berjalan mendekati mereka lalu menyimpan ranselnya di antara tumpukan ransel yang sudah terisi barang-barang penting untuk bertahan hidup di tempat yang mereka tidak ketahui sama sekali.

Indra yang tadinya sedang duduk tiba-tiba berdiri dan berbicara, “mmm, Reim dan Wahyu… ada yang ingin aku bicarakan,” sambil menunjuk tempat yang agak jauh dari pada wanita yang sedang beristirahat.

Merasa ada sesuatu yang penting dari apa yang ingin dikatakan Indra, mereka berdua pun mengangguk dan berjalan ke tempat yang Indra tunjuk.

“Ada apa Ndra?” Tanya Wahyu penasaran.

“Soal empat mayat yang ada di dalam bangkai pesawat, apa kita tidak sebaiknya kubur saja?” Kata Indra.

“Ah iya, sedari tadi aku juga kepikiran soal itu,” ungkap Wahyu sambil menggaruk kepalanya.

“Hmm, ada baiknya kita kubur dulu saja keempat mayat itu, kasihan mereka yang sudah meninggal itu,” kata Reim menanggapi ucapan Indra.

“Ya sudah, Wahyu tugasnya gali tanah ya… biar aku sama Reim yang angkat mayatnya keluar dari sisa pesawat itu, nanti kalau belum selesai kita bantu gali tanahnya,” ucap Indra sambil berjalan ke arah bangkai pesawat.

Indra dan Reim pun segera berjalan menuju tempat itu, lalu Wahyu mulai menggali menggunakan puing pesawat yang dapat digunakan untuk menggali tanah.

Langit yang cerah saat itu sebenarnya membuat tempat tersebut terlihat indah dengan warna warni yang tersebar di sekitar lokasi mereka yang dikelilingi hutan serta pegunungan. Namun menjadi sendu, ketika mereka harus menguburkan rekan kerja mereka sendiri di tanah itu. Indra dan Reim, mereka berdua mengangkat keluar satu persatu mayat yang tergeletak dari dalam pesawat. Saat mayat terakhir mereka bawa turun, sudah terlihat para wanita yang tadinya sedang beristirahat, sekarang membantu Wahyu untuk menggali lubang-lubang kuburan. Seakan sudah saling mengerti, mereka semua hanya terdiam ketika proses penguburan. Meskipun tidak dengan proses yang layak, setidaknya mereka masih berusaha untuk terlihat manusiawi.

Saat mereka selesai mengubur ke empat korban, sambil berdiri di hadapannya mereka semua berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Beberapa dari mereka ada yang terlihat menangis karena kenal dekat dengan salah satu korbannya, Reim lalu mengambil beberapa bunga yang ada di sekitar lokasi mereka dan dia meletakkan bunga itu di atas kuburan. Matahari perlahan mulai turun untuk menunjukkan sore hari telah tiba, angin berhembus dengan membawa udara dingin dari arah pegunungan. Mereka semua satu persatu kembali ke tempat mereka berkumpul sebelumnya. Reim yang berjalan paling akhir berhenti sejenak sambil mengeluarkan korek gas dan sebatang rokok, ia mulai membakar rokok tersebut lalu menghisap dan menghembuskannya.

Dia pun mulai berjalan kembali ke arah teman-temannya yang sudah mengambil posisi duduk melingkar, Reim hanya berdiri sambil merokok dengan jarak beberapa langkah dari mereka dan memperhatikan muka mereka yang semuanya terlihat murung. Melihat suasana yang tidak enak ini ia pun mulai mengeluarkan suara untuk memecah kesunyian, “kita berangkat sekarang ya… selagi matahari belum tenggelam.”

“Oh iya, sebaiknya kita siapkan barang yang bisa di pakai jadi senjata untuk jaga-jaga. Khawatirnya nanti di hutan ada hewan buas seperti ular, babi hutan atau mungkin harimau. Aku menemukan dua pisau ini di dapur pesawat tadi,” kata Reim sambil mengeluarkan dua buah pisau dari dalam jaketnya.

“Hmm iya juga, coba sebentar aku cari suatu alat panjang yang bisa jadi senjata juga agar bisa jaga jarak gitu,” ucap Indra sambil berjalan ke arah puing pesawat.

Reim lalu memberikan satu pisaunya pada Fildza, “makasih Reim, semoga keadaannya nanti kita ga perlu gunain pisau ini jadi senjata ya,” kata Fildza sambil memperhatikan ketajaman pisau tersebut. Teringat di benaknya kata-kata chef khusus yang ada di pesawat pribadi itu, jika pisau yang saat ini dilihatnya tersebut ialah pisau dapur dengan kualitas tinggi. “Baja murni,” celetuknya sambil mengulang apa yang diucapkan chef khusus tersebut padanya waktu itu.

“Kak Reim, kakak udah tahu ke mana arah yang akan kita tuju?” Tanya Karina pada Reim dengan nada yang terdengar lesu.

“Hmm, kalau melihat dari arah pesawat jatuh kemungkinan sih bagian depan pesawat terpental ke area hutan itu,” kata Reim sambil menunjuk ke arah hutan rimbun di bagian belakang pesawat.

“Ya sudah kalau begitu aku ikut arahan kak Reim saja,” kata Karina.

Fildza lalu mengangkat tangan, “umm apa gak sebaiknya aku coba kontak bandara terdekat ya?”

“Aku tadi coba cek handphone… tapi mati, bahkan jam tangan aku juga sudah tidak hidup. Coba kalian cek handphone masing-masing,” kata Reim sambil memperlihatkan layar handphone-nya yang sudah gelap.

Lihat selengkapnya