Aku berusaha menetralkan ekspresi agar tidak terlihat terlalu terkesima oleh pemandangan di hadapanku. Aneh. Mengapa aku masih terkagum-kagum begini? Padahal sudah dua kali aku mengunjungi rumah ini.
Sambil duduk di atas motorku, aku memandangi keseluruhan area yang disebut-sebut sebagai hunian paling besar di kotaku. Paling unik juga, sepertinya.
Desain bangunan rumahnya sungguh mewah, bergaya Eropa klasik. Tetapi, kurasa bukanlah kemewahannya yang mengintimidasi, melainkan warnanya. Hitam. Semua hitam, mulai dari atap hingga bagian lantai di terasnya. Meski terkesan gothic, menurutku rumah ini adalah contoh seni arsitektur kelas tinggi.
Aku sedang berada di samping pos penjagaan, di atas jalan mulus yang membelah rumput di halaman sampai ke teras rumah. Masih kukagumi segalanya dari sini.
Halamannya sangat luas, dilapisi rumput hijau yang tertata rapi. Untung saja rumputnya tidak berwarna hitam. Tetapi tetap saja warna gelap mendominasi halaman karena ada air mancur super besar yang terbuat dari batu-batuan hitam mengilat.
Selagi memperhatikan air mancur itu, aku menyadari ada sesuatu yang bergerak di bagian belakang halaman. Makhluk berbulu hitam itu berjalan menuju air mancur sedangkan aku tercengang melihat kemunculannya.
Itu adalah ... seekor kuda poni.
Yang benar saja? Mereka memelihara kuda di tengah kota?!
Seorang security staff yang sejak tadi berdiri di dekat pos penjagaan menghampiriku sambil membawa alat handy talky. Dia menghalangi pandanganku sehingga untuk sementara aku tak bisa melihat kuda itu.
"Kami sedang mencari Nona Nania. Mohon tunggu sebentar. Siapa namamu tadi?" Petugas keamanan itu menanyaiku.
"Tidak apa-apa. Saya akan menunggu. Nama saya Adam."
Setelah menyahut, aku melirik name tag di seragam sang petugas. Lelaki paruh baya bertubuh kekar itu bernama Eddy.
"Namanya Adam. Dia pernah datang ke sini seminggu yang lalu, mengantar paket barang pesanan Nona Nania. Sekarang kembali ke sini, masih untuk urusan barang yang sama." Pak Eddy berbicara di handy talky dengan entah siapa.
Ah, minggu lalu tidak seribet ini urusannya. Waktu itu Nania bahkan sudah menungguku di pagar, jadi aku tak perlu melapor pada satpam saat aku datang.
"Jadi, di mana Nona Nania? Masih belum ketemu juga?" Bukan cuma aku yang tak sabar ternyata. Pak Eddy juga terlihat gelisah.
"Belum, masih sedang kucari. Ah, Setan Kecil itu selalu merepotkan! Sial! Aku benci dia! Mungkin besok aku bakal meracuni makanannya biar dia mati dan aku tak perlu mengurusnya lagi."
Aku terkesiap, terkejut mendengar omongan seorang perempuan yang keluar dari handy talky. Pak Eddy terlihat lebih kaget dan langsung meringis padaku.
"Jaga mulutmu, Hesti!" Keras juga Pak Eddy menegur perempuan itu.
"Dia selalu bertingkah kalau ibu dan pamannya pergi. Benar 'kan?"
Yang dipanggil Hesti itu terus saja mengomel.
"Sudah, jangan bahas itu. Begini saja, aku yang akan mencari Nona Nania." Handy talky disimpan kembali ke dalam tas pinggang.
"Tunggu sebentar, ya, Nak Adam." Akhirnya Pak Eddy mengambil inisiatif untuk berjalan menuju rumah.
Ya, ya. Aku pasrah saja. Lagi pula aku tak mengerti apa-apa.
Orang yang bernama Nania sepertinya memang menghilang. Aku sudah menghubunginya langsung tapi nomornya di luar jangkauan. Semoga saja Pak Eddy bisa menemukannya.
Begitu tubuh besar si petugas keamanan tak lagi menghalangi pandanganku, aku kembali dapat melihat ke arah halaman. Maksudku, kudanya. Aku menajamkan indra penglihatanku untuk memperhatikan hewan itu.
Siapa sangka, bukan hanya kuda yang terlihat olehku, tetapi juga sesosok gadis. Dia muncul dari balik air mancur.
Gadis itu ... orang yang kucari. Nania Hamza.
❀
Refleks, kutekan klakson motorku.
Pak Eddy menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh. Aku buru-buru menggerakkan dagu ke arah air mancur, memberi kode agar Pak Eddy melihat Nania.
Ternyata bunyi klakson membuat si kuda poni terkejut. Begitu pula dengan Nania.
Pak Eddy memasuki halaman dan langsung berjalan lurus menemui Nania, mengabaikan kuda yang sedang berlari-larian mengelilingi air mancur.
Aku menggigit bibir. Dari jauh, Nania menatapku garang sembari berusaha menenangkan kudanya. Hmm, berarti aku telah membuat kuda itu ketakutan, ya?
Entah apa yang Pak Eddy katakan pada Nania. Mereka berbincang sebentar, lalu Pak Eddy melambai padaku.
"Silakan ke sana!" Petugas keamanan itu merentangkan tangan ke teras rumah.
Aku menunjuk motorku dengan pandangan bertanya.
"Ya, bawa motornya ke sana!"
Nania menatapku sinis selama satu detik lalu membuang muka. Gadis itu meninggalkan si kuda dan berjalan perlahan menuju rumahnya.
Sambil menghidupkan mesin motor, aku menggelengkan kepala pelan. Aku heran, bagaimana bisa seorang gadis terlihat begitu menyebalkan sekaligus sangat anggun di waktu yang sama?