Aku berkedip beberapa kali, melirik ke sana kemari sedangkan Nania masih belum mengalihkan tatapannya dariku.
"Ehmm, maksud kamu apa, sih?" Aku jadi gugup.
Tiba-tiba Nania meletakkan tangannya di atas tanganku yang sedang menggenggam stang motor. Seketika aku terperanjat.
"Bantu saya untuk pergi dari rumah ini. Sekarang juga."
Wah. Gadis ini belum mau berhenti membuatku terkejut rupanya.
Aku menjilat bibir. "Kamu bercanda 'kan?"
"Nania Hamza tidak pernah bercanda."
"Oh," gumamku. Seperti orang tolol.
Sekarang apa yang harus kukatakan?
"Ayo," kata Nania.
"A-ayo apanya?" Aku membelalak ngeri. "Jangan gila!"
"Saya akan naik ke motormu sekarang. Lalu kamu akan membawa saya pergi sejauh mungkin dari sini. Imbalannya, nanti kalungmu akan saya kembalikan."
Ini terdengar seperti paksaan, bukan negosiasi atau semacamnya.
"Permintaanmu nggak masuk akal." Aku menaikkan alis. "Orang-orangmu sedang mengawasi kita. Omong-omong ... mereka heran melihat tanganmu ...."
Nania menjauhkan tangannya dariku secepat kilat. Ketika dia menoleh ke belakang, Pak Eddy dan Bu Hesti langsung menunduk salah tingkah.
"Eddy!! Hesti!!" Nania memanggil nama para pekerjanya dengan lantang, tanpa embel-embel Pak dan Bu.
Aku melihat dua orang itu tersentak di tempat. Mereka segera menghampiri Nania.
"Ada apa, Non?" tanya mereka serentak.
"Hesti, kamu ingat kalung yang saya beli baru-baru ini? Bentuk liontinnya bulat hitam, rantainya dari emas."
"Iya, saya ingat," jawab Bu Hesti.
"Cari kalung itu di kamar saya. Saya simpan di laci."
"Laci yang mana, Non? Laci di kamar Nona ada banyak sekali."
"Saya juga lupa. Cari aja sekarang. Cari yang benar, yang teliti. Nggak perlu buru-buru."
"Baik, Non." Meski kebingungan, Bu Hesti segera masuk ke dalam rumah.
Nania memutar badan menghadap Pak Eddy. "Tugas kamu, bawa Onyx ke kandangnya sekarang."