Nenek memarahiku habis-habisan.
Aku hampir tidak pernah melihat Nenek mengomel atau marah-marah, tapi hari ini aku harus menghadapi kemurkaannya yang ternyata cukup mengerikan. Nenek bahkan tega menepuk jidatku keras-keras dan berkata bahwa otakku tidak berfungsi dengan baik.
Ini akibatnya membawa seorang anak gadis ke rumah Nenek dengan alasan yang sulit diterima akal sehat. Salah sendiri. Lebih salah lagi karena Nenek sedang tidak sehat sekarang. Aku sungguh merepotkan, bukan?
Harusnya aku menyalahkan Nania. Dia yang mengacaukan segalanya. Ini baru hari ke dua aku menginap di kampung setelah sekian lama tidak mengunjungi Nenek di sini. Gara-gara Nania, Nenek bermuka masam padaku.
Namun, entah mengapa aku tak bisa melampiaskan kekesalanku pada Nania. Sejak gadis itu memohon padaku untuk membawanya pergi dari rumah, dan sejak dia berkata ingin mati lengkap dengan aksi pembuktiannya itu, hati nuraniku seperti tergerak sendiri untuk membantunya. Apalagi tadi sepanjang perjalanan ke kampung, dia beberapa kali menangis, terlihat lemah dan pucat.
Sebenarnya aku bisa meninggalkannya begitu saja. Di mana pun. Misalnya di klinik waktu aku mengantarnya untuk mengobati luka di leher. Tapi yang kulakukan setelah itu malah mengajaknya membeli helm, air minum dan sepotong roti isi keju di deretan ruko seberang klinik.
Aku masih bingung sendiri, mengapa bisa-bisanya melakukan hal tolol semacam ini? Menolong gadis yang tak kukenal, dengan risiko dituduh membawa kabur anak konglomerat.
Jujur, aku takut keluarganya mengamuk. Bagaimana kalau aku dilaporkan ke polisi?
Maka itu aku tak berani membawa Nania ke tempat yang masih di dalam kota. Apalagi The Pearl dan basecamp, restoran keluargaku sekaligus tempat tinggalku. Lagi pula aku harus merahasiakan ini dari Mama dan kakakku Mutiara, setidaknya untuk sementara waktu. Semua akan lebih kacau kalau mereka tahu. Aku pun tak mau menimbulkan masalah di restoranku itu.
Untuk sekarang, kampung Nenek memang paling aman. Kebetulan juga aku sedang menginap di sini.
Soal Nenek, aku masih mencoba untuk bicara baik-baik dengannya.
"Nek, tolong jangan bilang ke Mama tentang Nania, ya." Aku mengekori Nenek yang baru keluar dari kamarnya.
Nenek tidak menjawabku. Dia pergi ke dapur dengan membawa handuk dan beberapa potong pakaian. Diletakkannya benda-benda itu di atas meja dapur, lalu dia duduk di kursinya.
Kuamati pakaian-pakaian itu. Aku mengenali gaun dan setelan piyama sebagai milik Kak Rara. Memang kakakku punya stok pakaian yang sengaja ditinggalkan di rumah Nenek, agar jika berkunjung ke sini selalu ada baju ganti.
Aku berasumsi, Nenek bermaksud meminjamkannya pada Nania. Tetapi aku tak berani banyak bertanya karena Nenek masih memasang muka galak di hadapanku. Jadi, aku hanya berdiri di seberang meja dapur tanpa tahu harus berbuat dan berkata apa lagi.
Nania ada di kamar mandi. Entah apa yang dia lakukan. Menurutku, sih, gadis itu sedang menangis. Lagi.
❀
Tadi sesampainya di rumah Nenek, aku tak menjelaskan siapa Nania dan mengapa dia kubawa ke sini secara langsung. Aku hanya memperkenalkan Nania pada Nenek, mengatakan bahwa dia 'temanku yang mau menumpang istirahat sebentar di sini'.