Selagi Nania duduk satu meja dengan Nenek, aku sibuk menyeduh teh. Ternyata ketegangan Nania menular padaku. Aku bingung harus berbuat apa sebelum Nenek 'memulai sidangnya'. Jadi, aku memutuskan untuk menyajikan minuman.
Lebih dari lima menit berlalu tanpa ada yang bicara. Aku mengaduk gula di cangkir-cangkir teh dengan hati galau. Sepertinya gerakanku terlalu lama karena Nenek mulai berdecak tak sabar sembari melihat ke arahku.
Aku cepat-cepat membawa dua cangkir teh, meletakkannya di hadapan Nenek dan Nania, lalu duduk di antara mereka. Tak ada yang melirik minuman yang kusajikan. Nenek memandangi Nania lekat, sedangkan Nania menghindari tatapan Nenek dengan cara menunduk dalam-dalam.
Sepertinya Nenek sengaja mengintimidasi Nania. Bukankah itu cara khas para orang tua membuat yang muda segan sebelum memulai obrolan serius?
Sikap Nania yang ciut duluan membuat Nenek menarik napas panjang, kemudian memindahkan tatapannya padaku.
"Adam ... Nenek lupa, siapa nama temanmu yang cantik ini? Nania, ya?"
Mengejutkan! Pertanyaan Nenek nadanya ringan dan lembut. Aku keheranan. Nania lebih kaget lagi. Ia mengangkat wajah dan mengerjapkan mata bulatnya.
"Iya, Nek. Namanya Nania," jawabku.
Nenek melempar senyum kecil pada gadis itu. "Diminum dulu tehnya.
Syukurlah, rupanya Nenek melakukan pendekatan secara halus dengan Nania.
Aku memperhatikan Nania ketika dia meraih cangkir, minum dua teguk, mengangguk kecil setelah selesai lalu melipat tangan di pangkuan. Meski kelihatan masih gugup, tetapi cara dia melakukan segalanya seanggun putri raja. Ketika sudah berani melakukan kontak mata dengan Nenek, ekspresi Nania menjadi lebih relaks.
"Kita ngobrol sebentar ya, Nania. Nenek cuma mau tanya-tanya sedikit," ujar nenekku.
"Boleh," sahut Nania.
"Adam sudah cerita tadi, tapi Nenek mau memastikan lagi ... apa benar kamu pergi dari rumahmu?"
Oke. Interogasi sudah dimulai.
Nania menggigit bibir bawahnya sedikit. "Benar, Nek. Maaf saya jadi merepotkan Adam yang membantu saya."
"Kenapa kamu minta bantuan Adam? Kata Adam, kalian belum lama kenal."
"Saya juga ... nggak tau kenapa. Mungkin karena nggak tau harus minta bantuan siapa lagi. Sebenarnya keputusan saya untuk kabur pun baru muncul di kepala tadi siang. Tapi saya rasa itu keputusan terbaik, karena akhir-akhir ini yang saya pikirkan jauh lebih buruk daripada pergi dari rumah."
Nenek mencondongkan tubuh ke depan. "Kamu berpikir untuk bunuh diri? Benar?"