Bukannya aku tak bisa mengurus sendiri lukaku. Sudah kubilang tak perlu repot-repot, tapi tetap saja Nania bersikeras mengobati jempol kaki yang berdarah dan bengkak.
Aku yakin kakiku tidak bau. Bersih pula. Namun, entah mengapa aku merasa malu saat seorang gadis cantik memusatkan seluruh perhatiannya pada kakiku, memegangnya dengan lembut dan hati-hati.
Nania benar-benar membuatku serba salah, tak enak hati. Apalagi dia bersimpuh di lantai, bagai sedang merawat seorang raja.
"Lukanya nggak seberapa, 'kan? Aku bisa urus sendiri, Nania," ucapku untuk yang kesekian kalinya.
Aku turun dari kursi yang kududuki, ikut duduk di lantai agar posisi kami sejajar. Nania menoleh untuk melempar pandangan kesal. Ditariknya telapak kakiku yang sempat lepas dari pegangannya karena aku mengubah posisi, lalu dia kembali mengoleskan salep pada memar dan luka.
"Jangan banyak gerak! Ini hampir selesai."
Aku hanya bisa diam dan meringis mendengar nada tajam itu.
"Perih?" Otomatis dia bertanya begitu. Pasti dikiranya aku kesakitan setelah melihat raut wajahku yang aneh.
Kugelengkan kepala sebagai jawaban.
"Lukanya mesti ditempelin plester. Di kotak obat cuma ada satu ini. Cukup, kan?"
Nania memperlihatkan sebungkus plester padaku. Sisa satu-satunya.
Seketika kuteringat sesuatu. Luka di leher Nania. Detik yang sama pula aku merasa bodoh, baru sekarang tersadar tentang itu.