Onyx Eye

Chrystal Calista
Chapter #8

ONYX

Siang telah berganti malam. Ini adalah malam kedua Nania tinggal bersama kami.

Nenek sudah tidak perlu lagi berbagi kamar dengan Nania. Nania bisa memakai kamarku. Aku sudah memasang kembali pintu yang lepas.

Satu setengah jam lamanya aku merapikan dan membersihkan 'kandangku' agar layak ditempati oleh seorang gadis. Semoga Nania merasa nyaman tidur di kasur tipis yang sederhana.

Sehabis membereskan kamar, aku buru-buru ke dapur. Sudah tiga kali Nenek memanggil. Waktunya makan malam.

Nenek dan Nania bahkan sudah duduk rapi di meja makan, menunggu aku. Mereka mengobrol ditemani masakan yang terhidang apik di atas meja.

Sambil menepuk-nepuk perut, aku menarik kursi di sebelah Nenek. "Aku datang! Lapar, lapaarr! Ayo kita makan."

Nenek memutar bola mata. "Semua juga udah lapar. Nunggu kamu lama banget."

Aku meminta maaf lalu tertawa cengengesan. Kebetulan masih sedang berdiri, aku meraih sendok dan mengisi piring Nenek dengan lauk pauk. Tumis tahu kecap, telur asin, kol kuah pedas, semua kutata di atas nasi Nenek agar perempuan kesayanganku itu tidak perlu bersusah payah mengambilnya.

Perihal melayani Nenek, aku bersedia melakukannya sampai kapan pun. Tetapi bukan hanya Nenek. Aku terbiasa melayani dan membantu orang terdekatku, apalagi yang lebih tua. Bagiku itu adalah kewajiban.

Kebetulan ada Nania di sini. Otomatis aku juga berbuat hal yang sama untuknya. Kuisi piringnya dengan semua lauk yang ada, sedikit-sedikit karena aku tak tahu dia lebih suka yang mana.

Ketika akhirnya aku duduk di kursiku dan melihat ke depan, baru kusadari ternyata Nania sedang menatapku sambil tersipu -- ekspresi menggemaskan yang sering muncul seharian ini.

"Makasih, Adam," ucap Nania.

Nenek mengacak rambutku penuh kasih sayang.

Aku melempar senyum pada semua orang dan kami pun mulai makan.

"Nak Nania, maaf ya makanan di sini sederhana saja. Semoga kamu suka lauk yang ada," kata Nenek pada Nania.

Nania menggeleng pelan. "Ini lebih dari cukup, Nek. Aku suka, semua enak. Besok aku bantu masak, ya?"

Nenek mengangguk senang. "Iya, boleh."

Atmosfer tempat tinggal Nenek selalu menyejukkan. Angin leluasa masuk dari sela-sela dinding rumah yang seluruhnya terbuat dari kayu.

Aku menyukai suasana di sini. Damai, jauh dari kebisingan. Paling-paling jangkrik dan kodok saja yang ramai bernyanyi pada malam hari.

"Tenang, di sini memang ada nyamuk tapi nggak banyak, kok. Lagian aku udah pakai minyak serai. Aman, aman!"

Aku meletakkan botol minyak serai ke atas meja sambil cengengesan pada Nania yang berdiri di hadapanku. Wajah gadis itu terlihat risau.

Dia barusan memaksaku untuk tidur di kamarku. Sedangkan aku pun memaksa bahwa dialah yang harus tidur di kamar.

"Ayolah. Aku nggak mau terlalu ngerepotin kalian. Biar aku yang tidur di sini."

Nania menunjuk kursi yang kududuki saat ini. Kursi goyang milik Nenek.

Aku tertawa kemudian menggeleng. Meski kursinya terletak di sudut ruangan yang paling strategis -- dekat dengan televisi dan kulkas -- tetap saja gadis seperti Nania tidak akan merasa nyaman tidur di sini.

"Udah, nggak usah sungkan. Pakai aja kamarku. Sana istirahat. Udah malam."

Lihat selengkapnya