Pukul lima sore, Agus benar-benar datang lagi. Sesuai perkataannya tadi subuh, dia ingin mendengar cerita tentang Nania.
Maka kubeberkan sebagian fakta yang boleh dia ketahui. Tentunya setelah meminta izin pada Nania terlebih dulu.
"Kau gila, Dam! Masa kau bawa lari anak orang?!"
Itu respon Agus terhadap ceritaku. Sudah kuduga, aku lagi yang akan kena getahnya.
"Adam nggak salah. Dia cuma nolongin aku. Aku tahu dia pasti terpaksa ngelakuin ini semua."
Pembelaan Nania tidak membuatku merasa lebih baik. Aku jadi pusing memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.
Berapa lama kami akan menumpang di rumah Nenek? Jika nanti Nania memutuskan untuk pergi dari sini, selanjutnya ke mana ia akan bersembunyi? Apakah persembunyian sementara ini bisa ditemukan oleh keluarga Nania? Apa yang akan terjadi jika kami ditemukan?
Sempat terlintas di otakku, bagaimana kalau wajah Nania terpampang di televisi? Diberitakan dengan judul 'Orang Hilang', dan dijadikan sayembara berhadiah untuk yang menemukannya. Itu cuma bayanganku saja, tapi bukan tak mungkin menjadi nyata.
"Jangan sampai orang lain tahu tentang ini!" ucapku pada Agus dengan nada mengancam. "Ini rahasia, paham?"
Agus mengacak rambutnya. "Iya, iya! Mudah-mudahan aku ndak keceplosan."
Aku memelototinya galak.
"Omong-omong, kenapa malah kau ceritakan hal ini ke aku? Kan katanya rahasia."
Meski masih terkesan santai jika dilihat dari luar, sebenarnya otakku terus berputar memikirkan persoalan ini. Jelas aku punya jawaban untuk pertanyaan Agus. Sepanjang hari ini kupertimbangkan keterlibatan Agus, dan kuharap keputusanku benar.
"Jujur, aku takut timbul masalah baru karena Nania kubawa ke sini. Apalagi kampung ini bukan tempat asalku. Aku takut merugikan kalian. Jadi harus ada orang sekitar sini yang tahu tentang masalah Nania. Kuharap ada minimal satu orang yang kupercaya, yang peduli dan mau bantu kalau kami butuh bantuan."
"Dan orang yang kau maksud itu … aku?"
Ekspresi Agus sebenarnya patut ditertawakan. Kerutan di wajahnya merupakan perpaduan raut ngeri, ragu, dan tersanjung. Tetapi aku mengangguk dalam-dalam, sengaja menepuk-nepuk bahu Agus agar dia merasa spesial.
Padahal aku tidak benar-benar memercayainya. Hanya saja, dia yang rumahnya paling dekat dengan kami, dan dia sudah terlanjur berkenalan dengan Nania juga.
"Bang Agus memang udah biasa gini, sih. Sering jadi andalan orang-orang."
Kubiarkan saja Agus membual di depan Nania, tak ingin mengganggu kesenangannya.
"Abang siap bantu jagain Nania. Kalau perlu, tiap hari Abang ke sini."
Yes! Aku dapat satu sekutu.
"Terima kasih banyak, Bang Agus. Maaf ngerepotin."
Aku tak tahu sejak kapan Nania memanggil Agus dengan sebutan 'Abang'. Agak menggelikan bagiku. Tetapi masa bodoh. Yang penting tujuanku cukup terpenuhi.
✿
Suasana makan malam kali ini lebih ramai dari biasanya. Ada Agus yang ikut bersantap dengan kami.
"Agus nggak usah dikasih makan, Nek. Tadi subuh dia nyolong rambutan." Aku mengejek Agus yang sedang mengambil piring.
"Heh! Jahat betul kau, ya!" seru Agus sembari menahan tawanya.
Nenek mencubit pinggang Agus. "Rambutan masih hijau kok udah dipetik?"
"Maaf, Nek. Tadi Agus khilaf."
"Nggak apa-apa. Nanti Nenek kasih kalau udah merah. Agus mau ambil sekarung juga boleh."
Agus bersorak girang. Aku dan Nania geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
"Sudah, ayo makan." Nenek meletakkan bakul nasi di tengah meja.
Menu masakannya menggugah selera. Sambal tempe campur buncis, sup ikan, dan telur asin. Kami makan dengan penuh sukacita.