Aroma kopi yang pekat menggelitik hidungku, sukses membuatku terbangun. Aku menggosok mata dan membukanya dengan susah payah.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Tak ada siapa-siapa di dekatku. Agus sudah pamit lima jam yang lalu, pergi ke pasar untuk berjualan.
Di mana Nania?
Kursi goyang sudah kosong. Bantal dan selimut tak terlihat lagi. Bahkan meja pendek di depanku sudah dirapikan. Hanya ada secangkir kopi di meja itu, entah milik siapa.
Aku bangkit ke posisi duduk kemudian mengangkat kedua lengan untuk meregangkan otot-otot. Semalam aku tidur beralaskan tikar, berbagi dengan Agus. Agak sempit-sempitan. Badanku jadi pegal.
Namun baru kusadari, bantal dan selimut yang Nania pakai ternyata berpindah ke tempatku. Ya, rupanya tadi kepalaku beralaskan bantal. Kakiku juga tertutup selimut bermotif dedaunan yang kupinjamkan untuk Nania.
Sewaktu aku tertegun, Nenek lewat sembari membawa beberapa ikat sayuran hijau.
"Cucu Nenek yang ganteng sudah bangun?"
"Iya, Nek." Aku tersenyum kecil.
Nenek menepuk puncak kepalaku. "Nanti tikarnya digulung, ya! Nenek mau menyapu lantai."
Aku mengangguk mengiyakan. Mataku mengekori sosok Nenek yang beranjak ke dapur. Aku harus memanggilnya sebelum dia pergi. Ada sesuatu yang membuatku penasaran.
"Nek!"
"Iya, Sayang?"
"Nenek yang selimutin aku pakai ini?" Kuangkat sedikit ujung kain di kakiku.
"Bukan."
"Siapa?"
Nenek mengerlingkan mata dengan gaya usil, lalu menggerakkan kepala ke arah seseorang yang baru saja keluar dari kamar.
Nania. Sebenarnya aku tahu pasti dialah orangnya. Tapi aku heran, dadaku berdebar sedikit lebih kencang membayangkan apa yang Nania lakukan untukku.
Gadis itu berjalan lurus ke arahku. Nenek langsung berbalik meninggalkan kami setelah melemparkan senyum jenakanya.
"Hai." Nania menyapa. Segar penampilannya, jelas sudah mandi.
"Pagi," sahutku.
Nania menghampiri meja, mengambil cangkir berisi kopi dan membawanya saat dia duduk di sebelahku. "Kamu mau kopi?"
Aku mengerutkan dahi. "Nggak. Nggak suka."
Kupikir dia akan meminumnya, tetapi yang dia lakukan hanya menghirup aroma kopinya dalam-dalam. Kemudian cangkir itu diletakkan kembali ke atas meja.
"Aku juga nggak suka. Itu kopi pekat tanpa gula."
Kupandangi Nania dengan bingung. Apa tujuannya membuat kopi tetapi tidak untuk diminum?
"Tadi malam aku nggak mimpi buruk. Tapi aku mimpi tentang papaku. Dan … selalu … kalau mikirin dia, aku jadi kangen banget. Biasanya kalau lagi kangen aku bikin kopi biar bisa menikmati aroma yang selalu ada kalau di dekat Papa."
Akhirnya aku paham. Dia sedang mengenang orang yang dirindukan. Karena belum berani bertanya tentang kepergian ayahnya, kufokuskan topik pembicaraan kami pada kopinya saja.
"Lalu, setelah itu kopinya dibuang gitu aja, ya?"
"Eddy yang minum. Dia suka kopi buatanku."
Ternyata Nania bersikap baik pada orang yang bekerja dengannya. Itu patut diapresiasi.